JUDUL BLOG

Rabu, 09 Januari 2013

PENJELASAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN



PEMIKIRAN AL-ZARNUJI DALAM KITAB TA’LI AL-MUTA’ALLIM TENTANG PENDIDIKAN ISLAM ( Telaah Dalam Perpektif Filsafat Pendidikan)
8 Juni 2010 oleh maragustamsiregar
Abstract
Ta’lim al-Muta’allim is one of the Syekh Tajudin Nu’man bin Ibrahim al-Khalil al-Zarnuji’s monumental work who lived in the century of 6 th H/13-14 AD. There are three reasons why this book to be foused on this writing; first, the contents of this book are enriched by  Islamic educational values; second,  the teaching of this book have been practised in the Islamic world Education in Indonesia especially in pesantren (Islamic Boarding School); and the third, the rest of teaching of this books is still relevant to be applied in Islamic world education today, more especially religious and pluralistic Indonesian societies who are moslems. The subject of discussion are as follows (1) what is the purpose of education / how to get knowledge according to al-Zarnuji in his book, (2) how is the basic features of human moral and human resource development and (3) how is the position of al-Zarnuji thought on educational purpose in the map of Islamic educational philosophy. The approach used in this writing is the instrument of educational philosophy (exlective incooperative) and the analysis   technique  uses analysis content. The result of research according to al-Zarnuji said fount that the purpose of knowledge education focussed more on the God’s values/religious compared to human values/worldly. The basic feature and process of its development are good interactive or positive interactive. While the position of thought in the map of educational thought are in the conservative and religious fields and plus convergence.
Key Words: ta’lim al-muta’allim, tujuan pendidikan, sifat dasar moral, rida Allah, dan aliran pemikiran pendidikan.
A. Pendahuluan
Persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan kehidupan. Selama  manusia ada, maka selama itu pula persoalan pendidikan ditelaah dan direkonstruksi dari waktu ke waktu, baik dalam arti makro seperti kebijakan pendidikan, politik pendidikan, maupun dalam arti mikro, seperti tujuan, metode, pendidik dan pembelajar, baik konsep filosufinya maupun tataran praktiknya. Aksentuasinya pada pendidikan, karena masalah kehidupan manusia, pada umumnya dicari pemecahannya melalui pendidikan.
Perkembangan yang cepat sebagai dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi, bagaimanapun juga mempengaruhi terhadap banyaknya masalah dalam usaha dan proses peningkatan kualitas pendidikan baik pada tataran konsep maupun tataran praktiknya, apalagi kalau dihubungkan dengan asumsi bahwa problem-problem pendidikan sebenarnya, berpangkal dari kurang kokohnya landasan filosufis pendidikannya. Sehingga kajian-kajian mengenai konsep pendidikan yang dilontarkan para ahli merupakan keharusan. Khusus dalam tulisan ini difokuskan pada pembahasan  Kitab Ta’li>m al-Muta’llim. Warisan intelektual muslim ini penting dikaji ulang, karena ternyata pemikirannya tersebut relevan diterapkan pada praktik pendidikan sekarang mengingat pudarnya nilai-nilai akhlak bagi pendidik dan pembelajar. Untuk itu Nurkholis Madjid mengatakan,  bahwa budaya dunia Islam klasik sedemikian kaya rayanya, sehingga akan merupakan sumber pemiskinan intelektual yang ironi jika sejarahnya yang telah berjalan lebih empat belas abad itu diabaikan dan tidak dijadikan bahan pelajaran. Belajar dari sejarah merupakan perintah langsung dari Allah untuk memperhatikan Sunnatullah. Termasuk di sini ialah keharusan mempelajari secukupnya warisan kekayaan intelektual Islam.[1] Kitab ini diangkat kepermukaan karena asumsi penulis bahwa (1) kitab ini telah memasyarakat pada dunia pendidikan khususnya dunia pendidikan pesantren, (2) ajaran-ajarannya secara filosufis bersesuaian dengan ruh pendidikan Islam, dan (3) semakin pudarnya nilai-nilai Islam dalam praktek pendidikan Islam karena disadari atau tidak dominasi sistem pendidikan Barat telah merasuk dalam dunia pendidikan Islam. Pada hal pendidikan Barat berbeda dengan pendidikan Islam. Dalam dunia pendidikan Barat proses pendidikannya semata-mata tanggung jawab manusia, tidak dihubungkan dengan tanggung jawab keagamaan, tujuan akhir pendidikannyapun ialah memperoleh kehidupan sejahtera dalam arti materealistik semaksimal mungkin. Ini tentu berbeda dengan konsep pendidikan Islam, yang semua aktivitas pendidikan haruslah dikaitkan dengan perwujudannya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah. Menurut Tohari Musnamar, paling tidak ada lima perbedaan pendidikan Barat dengan Islam. Pertama, pada umumnya di Barat proses belajar mengajar tidak dihubungkan dengan Tuhan maupun ajaran agama. Berdasarkan pandangan hidup Barat yang sekularistik-materialistik, maka motif dan objek belajar pun adalah sema-mata masalah keduniaan. Berbeda dengan Barat, Islam mengajarkan bahwa aktivitas belajar dan mengajar itu merupakan suatu amal ibadah, berkaitan erat dengan pengabdian kepada Allah. Kedua, pada umumnya konsep pendidikan Barat beranggapan bahwa masalah belajar dan mengajar itu adalah semata-mata urusan manusia, sedangkan Islam mengajarkan bahwa terdapat hak-hak Allah dan hak-hak makhluk lainnya pada setiap individu, khususnya bagi orang yang berilmu. Mereka kelak akan diminta pertanggungan jawabnya bagaimana cara mengamalkan ilmunya. Ketiga, pada umumnya konsep pendidikan Barat tidak membahas masalah kehidupan sebelum dan sesudah mati. Belajar hanyalah untuk kepentingan dunia, sekarang dan di sini. Hal ini sangat berbeda dengan konsep pendidikan Islam. Belajar tidak hanya untuk kepentingan hidup di dunia sekarang, tetapi juga untuk kebahagiaan hidup di akhirat nanti. Keempat, konsep pendidikan Barat pada umumnya tidak dikaitkan dengan pahala dan dosa. Banyak ahli Barat yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai (values free). Maka cara-cara apapun boleh ditempuh asal tercapai tujuannya. Praktek yang demikian itu tentu saja tidak dikenal dalam ajaran Islam. Kebajikan dan akhlak yang mulia merupakan unsur pokok dalam pendidikan Islam. Kelima, pada umumnya tujuan akhir konsep pendidikan Barat ialah hidup sejahtera di dunia secara maksimal, baik sebagai warga negara maupun sebagai warga masyarakat. Sedangkan tujuan akhir pendidikan Islam ialah terwujudnya insa>n ka>mil, yang pembentukannya selalu dalam proses sepanjang hidup (has a beginning but not an end).[2]
Ada tiga persoalan yang diangkat dalam tulisan ini yaitu (1) apa tujuan pendidikan/memperoleh ilmu menurut al-Zarnuji (2) bagaimana sifat dasar moral  manusia dan pengembangan sumber daya manusia dan (3) bagaimana posisi pemikiran al-Zarnuji tentang tujuan pendidikan dalam aliran filsafat pendidikan Islam. Tulisan yang bersifat deskriptif ini digunakan pendekatan filsafat pendidikan yakni inkorporatif yakni gagasan dari kajian teks karya al-Zarnuji mengenai pendidikan, dilihat dari berbagai pemikiran pendidikan yang dilepaskan dari sistem alirannya. Teknik analisisnya menggunakan content analisis yakni menarik kesimpulan dalam usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis. Dengan demikian pemikiran pengarang kitab tidaklah dihubungkan dengan setting sosial yang melingkupinya dan latar belakang pendidikannya.
  1. B. Sketsa Pengarang Kitab Ta’li>m al-Muta’allim
Pengarang kitab Ta’li>m al-Muta’llim T}ari>q al-Ta’allum ialah al-Zarnuji,   yang nama lengkapnya adalah Syekh Tajuddin Nu’man bin Ibrahim bin al-Khalil Zarnuji.[3] Dalam Kamus Islam terdapat dua sebutan yang ditujukan kepadanya, yakni al-Zarnuji ialah Burhanuddin al-Zarnuji, yang hidup pada abad ke-6 H/ 13-14 M dan Tajuddin al-Zarnuji, ia adalah Nu’man bin Ibrahim yang wafat pada tahun 645H.[4] Al-Zarnuji adalah seorang sastrawan dari Bukhara,[5] dan termasuk ulama yang hidup pada abad ke-7 H, atau sekitar abad ke-13-14 M, ia dapat dikenal pada tahun 593 H dengan kitab Ta’li>m al-Muta’lim.[6] Kitab ini telah diberi syarah (komentar) oleh Al-‘Allamah al-Jalil al-Syekh Ibrahim bin Ismail, dengan nama, al-Syarh Ta’li>m al-Muta’llim T}ari>q al-Ta’allum dan oleh Syekh Yahya bin Ali bin Nashuh (1007 H/ 1598M) ahli syair Turki dan Imam Abdul Wahab al-Sya’rani ahli tasauf dan al-Qadli Zakaria al-Anshari.[7]
Tentunya kitab ini tidak asing lagi bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di pondok pesantren Salafiyah, karena kitab ini telah dijadikan referensi utama bagi santri dalam menuntut ilmu. Menurut Mahmud Yunus bahwa dalam kitab itu disimpulkan pendapat para ahli pendidikan Islam dan dikuatkan secara khusus pendapat Imam al-Ghazali. Kitab ini khusus dalam ilmu pendidikan dan berpengaruh sekali dalam alam Islami sebagai pegangan bagi guru untuk mendidik anak-anak.[8] Al-Zarnuji tinggal di Zarnuq atau Zarnuj, seperti kata itulah yang dibangsakan kepadanya. Seperti disebutkan dalam Qa>mu>s Islami[9], bahwa Zarnuq atau Zarnuji adalah nama negeri yang masyhur yang terletak di kawasan sungai Tigris (ma> wara’a al-nahr) yakni Turtkistan Timur.
زرنوجى, أو رنوق, بدة كانت مشهورة في إقليم ما (وراء النهر [تركستان الشرقية] تقع بالقرب من خوقند.
Dalam kitabnya seacra implisit, al-Zarnuji tidak menentukan di mana dia tinggal, namun secara umun ia hidup pada akhir periode Abbasiyah, sebab khafilah Abbasiyah terakhir ialah al-Mu’tashim (wafat tahun 1258 M/656 H). Ada kemungkinan pula ia tinggal di kawasan Irak-Iran sebab beliau juga mengetahui syair Persi di samping banyaknya contoh-scontoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.[10]
  1. C. Tujuan Pendidikan/Tujuan Memperoleh Ilmu
Pendidikan merupakan upaya belajar dengan bantuan orang lain untuk mencapi tujuannya. Maksud tujuan pendidikan atau belajar/ memperoleh ilmu di sini ialah suatu kondisi tertentu yang dijadikan acuan untuk menentukan keberhasilan belajar/pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan/belajar dalam arti pendidikan mikro ialah kondisi yang diinginkan setelah individu-individu melakukan kegiatan belajar. Tujuan adalah apa yang dicanangkan oleh manusia, diletakkannya sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannya dia menata tingkah lakunya. Tujuan itu sangat penting artinya karena dia berfungsi sebagai pengakhir segala kegiatan, mengarahkan segala  aktivitas pendidikan, merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses belajar mengajar, dan memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut. Kualitas dari tujuan itu sendiri bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan kualitas kehidupan manusia. Sebagai contoh, tujuan pendidikan di Sekolah Dasar ialah cerdas. Makna cerdas sepuluh tahun yang lalu berbeda dengan cerdas tahun sekarang (2007). Lebih-lebih tujuan pendidikan yang di dalamnya syarat dengan nilai-nilai yang bersifta fundamental, seperti nilai moral dan nilai agama. Kualitas takwa pada anak-anak-anak berbeda dengan kutalitas takwa pada orang dewasa, demikian juga setelah manusia menjelang usia lanjut. Tujuan pendidikan atau belajar suatu bangsa atau seseorang pada dasarnya bersumber pada filsafat hidup suatu bangsa itu dan keyakinan dalam beragama. Maka dengan perbedaan filsafat hidup dan kualitas keagamaan antar ahli pendidikan, menjadikan lahirnya perbedaan dalam menetapkan tujuan belajar. Secara makro tentu tujuan pendidikan suatu bangsa akan berbeda dengan tujuan pendidikan  bangsa lain, disamping adanya persamaan-persamaan.
Menurut al-Jamaliy, tujuan pendidikan Islam antara ialah (1) agar seseorang mengenal statusnya di antara makhluk dan tangung jawab masing-masing individu di dalam hidup mereka di dunia, (2) agar mengenal interaksinya di dalam masyarakat dan tanggung jawab mereka di tengah-tengah sistem kemasyarakatan, (3) supaya manusia kenal alam semesta dan membimbingnya untuk mencapai hikmat Allah di dalam menciptakan alam semesta dan memungkinkan manusia menggunakannya, (4) supaya manusia kenal akan Tuhan Pencipta alam ini dan mendorongnya untuk beribadah kepadanya.[11] Menurut Syed Muhammad Naqueib bahwa tujuan pendidikan itu supaya menjadikan manusia itu orang yang baik (the aims of Education in Islam is to produce a good man).[12] Sedangkan menurut al-Abrasy, bahwa tujuan umum yang asasi bagi pendidikan Islam yaitu (1) untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia, (2) untuk persiapan kehidupan dunia dan akhirat, (3) untuk persiapan mencapai rezeki dan  pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat akhlak, atau spritual semata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Para pendidik muslim memandang kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan memadukan antara ilmu agama dan pengetahuan, atau menaruh perhatian pada segi-segi spritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatan. (4) Untuk menumbuhkan jiwa ilmiah dan memuaskan keinginan diri untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sabagai ilmu, (5)  untuk menyiapkan pembelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi, teknis dan perusahaan tertentu, supaya ia dapat mencari rizki dalam hidup dengan mulia disamping memelihara segi spritual dan keagamaan.[13] Menurut al-Zarnuji tujuan belajar/pendidikan Islam berikut ini:[14]
وينبغى أن ينوي المتعلم يطلب العلم رضا الله تعالى والدار الآخرة وازلة الجهل من نفسه وعن سائر الجهال وإحياء الدين و إبقاء الإسلام فأن بقاء الإسلام بالعلم. ولايصح الزهد والتقوى مع الجهل. والنشد الشيخ الإمام الأجل برهان الدين صاحب الهداية شعرا لبعضهم:
فساد كبير عالم متهتك       *          وأكبر منه جاهل متنسك
هما فتنة في العالمين عظيمة * لمن بهما فى دينه يتمسك.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam itu dapat lestari, kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu. Syekh Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair: “orang alim yang durhaka bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan. Selanjutnya al-Zarnuji berkata[15]:
وينوي به الشكر على نعمة العقل وصحة البدن ولا ينوى به اقبال الناس ولا استجلاب حطام الدنيا والكرامة عند السلطان وغيره. قال محمد ابن الحسن رحمه الله تعالى لو كان الناس كلهم عبيدى لاعتقتهم و تبرأت عن ولآئهم.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan pejabat dan yang lainnya.
Sebagai akibat dari seseorang yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya, maka bagi para pembelajar akan berpaling halnya dari sesuatu yang dimiliki  oleh orang lain. Demikian pendapat al-Zarnuji, seperti statemen berikut ini[16]:
ومن وجد لذة العلم والعمل به قلما فيما عند الناس. انشد الشيخ الإمام الآجل الأستاذ قوام الدين حمادالدين ابراهم بن اسماعيل الصفار الأنصاري املآء لابي حنيفة رحمه الله تعالى شعرا :
من طلب العلم للمعاد * فاز بفضل من الرشاد
فيالخسران طالبه     * لنيل فضل من العباد.
Maksudnya: Barangsiapa dapat merasakan lezat ilmu dan nikmat mengamalkannya, maka dia tidak akan begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah: Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah kebenaran/petunjuk. Dan kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena mencari kedudukan di masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal), tetapi juga tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen pendukung tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji berikut ini[17]:
اللهم الا اذا طلب الجاه للأمر بالمعروف والنهى عن المنكر وتنفيذ الحق واعزاز الدين لا لنفسه وهواه فيجوز ذلك بقدر مايقيم به الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر. وينبغى لطالب العلم أن يتفكر في ذلك فإنه يتعلم العلم بجهد كثير فلا يصرفه الى الدنيا الحقيرة القليلة الفانية شعر:
هي الدنيا اقل من القليل     *  وعاشقها اذلّ من الذليل
تصم بسحرها قوما و تعمي *  فهم متحيرون بلا دليل.
Maksudnya: Seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan untuk memperoleh kedudukan, kalau kedudukan tersebut  digunakan untuk amar makruf nahi munkar, untuk melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, dan tidak pula karena memperturutkan nafsu. Seharusnyalah bagi pembelajar untuk merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari dengan susah payah tidak menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar janganlah mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan tidak kekal. Seperti kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang yang terpesona padanya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka adalah orang-orang bingung yang tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk.
Menurut al-Syaibani bahwa ada tiga bidang perubahan yang diinginkan dari tujuan pendidikan yaitu tujuan-tujuan yang bersifat individual; tujuan-tujuan sosial dan tujuan-tujuan professional.[18] Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam konsep al-Zarnuji, maka menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar, mencerdaskan akal, mensyukuri atas nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan tujuan-tujuan yang bersifat individual. Karena dengan tiga hal tersebut akan dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku, aktivitas dan akan dapat menikmati kehidupan dunia dan menuju akhirat.  Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan dari anggota masyarakat (mencerdaskan masyarakat), menghidupkan nilai-nilai agama, dan melestarikan Agama Islam adalah merupakan tujuan-tujuan sosial. Karena dengan tiga tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat pada umumnya. Dari tujuan-tujuan sosial ini, al-Zarnuji melihat bahwa kesalehan dan kecerdasan itu tidak hanya saleh dan cerdas untuk diri sendiri, tetapi juga harus mampu mentransformasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan tujuan professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu itu ialah menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun kedudukan yang telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat secara keseluruhan. Memperoleh kedudukan di masyarakat tidak lain haruslah dengan ilmu, dan menguasainya. Baik tujuan individual, sosial dan professional haruslah atas dasar memperoleh keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat. Untuk itulah nampaknya al-Zarnuji menempatkan mencari rida Allah dan kebahagiaan akhirat menjadi awal dari segala  tujuan (nilai sentral) bagi pembelajar. Jika tujuan memperoleh ilmu dibagi kepada empat yakni (1) ilmu untuk ilmu (kegemaran dan hobi), (2) sebagai penghubung memperoleh kesenangan materi, (3) sebagai penghubung memajukan kebudayaan dan peradaban mausia, (4) mencari rida Allah dan kebagiaan akhirat, maka yang terakhir ini sebagai tujuan sentral, sedangkan tujuan lainnya sebagai tujuan instrumental. Lebih jelasnya dapat diliat dalam gambar berikut:
Dari gambar diatas jelas terlihat bahwa tujuan pendidikan/memperoleh ilmu sebagai penghubung mencari rida Allah dan kebahagiaan akhirat sebagai nilai sentral yang akan menyinari dan membingkai tiga tujuan di bawahnya. Artinya seseorang boleh saja memperoleh ilmu untuk kegemaran, peroleh materi atau kemajuan kebudayaan dan peradaban asalkan saja dibingkai dan disinari oleh nilai-nilai keagamaan. Ini dapat dimengerti karena tujuan dalam pendidikan sangat penting artinya.  Karena tujuan haruslah diletakkan sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannya, pembelajar menata tingkah lakunya. Tujuan juga berfungsi sebagai pengakhir segala kegiatan, mengarahkan segala aktivitas, merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses belajar mengajar, dan memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut. Tujuan seperti ini diistilahkan oleh Ali Abdul Azim sebagai tujuan yang paling agung. Seperti dia katakan berikut ini:[19]
وكان الهداف الأكثر للمعرفة في الإسلام هو الإتصال بالله سبحانه وتعالى هو المثل الأعلى للحق والخير والجمال.
Maksudnya: Tujuan memperoleh ilmu pengetahuan yang paling penting dan agung dalam Islam, ialah pembelajar dapat berhubungan dengan Allah SWT. Tujuan ini merupakan hal yang paling utama untuk menuju kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa tujuan-tujuan tersebut baik yang bersifat ideal maupun yang bersifat praktis, mencakup kepada nilai-nilai ideal Islami, yaitu pertama, dimensi yang mengandung nilai untuk meningkatkan kesejahteraan di dunia. Nilai ini mendorong seseorang untuk bekerja keras dan professional agar keuntungan dan kenikmatan dunia dapat diperoleh sebesar-besarnya. Kedua, dimensi yang mengandung nilal-nilai ruhani dan keakhiratan. Dimensi ini menuntut pembelajar untuk tidak terbelenggu oleh mata rantai kehidupan yang materealistis di dunia, tetapi ada tujaun-tujuan yang lebih jauh dan mulia yaitu kehidupan sesudah mati. Penghayatan terhadap nilai ini, menjadikan pembelajar  terkontrol dari syahwat kenikmatan dunia/materi. Ketiga, dimensi yang mengandung nilai yang dapat mengintegrasikan antara kehidupan dunia (praktis) dan ukhrawi (ideal). Menurut Arifin, keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negative dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spritual, sosial, kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam hidup pribadi manusia.[20]
Tujuan pembelajar memperoleh ilmu yang dikemukakan oleh al-Zarnuji jika dilihat dari aliran pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ridha, maka al-Zarnuji termasuk dalam aliran Konservatif Religius. Ridha mengatakan, disamping lahirnya teori pendidikan berdasar pada  hakikat fitrah dalam Alquran, juga orientasi keagamaan dan filsafat negara dalam menafsirkan realitas dunia, fenomena dan eksistensi manusia  melahirkan pemikiran pendidikan Islam terutama menentukan (1) tujuan, (2) ruang lingkup dan  (3) pembagian ilmu. Maka berdasar  tiga ini, Ridha membagi aliran utama pemikiran pendidikan Islam menjadi tiga; al-muha>fiz (religius konservatif); al-diniy al-‘aqlaniy (religius rasional) dan al-z\arai’iy (pragmatis instrumental).[21] Aliran konservatif religius, menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu, etika guru dan murid dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Aliran religius rasional, tidak jauh berbeda dengan aliran pertama dalam hal kaitan antara pendidikan dan tujuan belajar adalah tujuan agama. Bedanya, ketika aliran ini membicarakan persoalan pendidikan cenderung lebih rasional dan filosufis. Mereka membangun prinsip-prinsip dasar pemikiran pendidikan dari pemikiran tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan. Aliran pragmatis instrumental, memandang tujuan pendidikan lebih banyak sisi pragmatis dan lebih berorientasi pada tataran aplikatif praktis. Ilmu diklasifikasikan berdasar tujuan kegunaan dan fungsinya dalam hidup.
Menempatkan al-Zarnuji dalam aliran religius konservatif, karena ia menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Bingkai agama harus menyinari seluruh aktivitas pembelajar dalam memperoleh ilmu. Sehingga  boleh saja pembelajar bertujuan mencari kedudukan dalam memperoleh ilmu, tetapi kedudukan itu harus difungsikan untuk tujuan-tujuan keagamaan yakni amar makruf nahi munkar, menegakkan kebenaran, dan untuk menegakkan agama Allah. Implikasi dari pemikiran ini sangat jauh. Pembelajar yang semata-mata mencari rida Allah dalam menuntut ilmu baik dikontrol oleh aturan-aturan yang dibuat manusia ataupun tidak, dia tetap dalam bingkai kebenaran. Berbeda dengan pembelajar yang menuntut ilmu karena mencari materi, sewaktu materi tidak di dapat atau berkurang maka dia akan patah semangat dan pasimis serta tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
Sebagai implikasi dari pandangan al-Zarnuji mengenai tujuan pendidikan/memperoleh ilmu tentu terdapat dampak positif edukatif sebagai kelebihan darinya dan juga terdapat dampak negatif edukatif sebagai kekurangannya. Dampak edukatif positifnya ialah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral itu. Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggang jawab keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekedar sebagai tugas-tugas profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab keagamaan sebagai titik sentral  dalam pendidikan Islam, di samping tanggung jawab kemanusiaan baik dalam konstruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Tuntutan insaniyah (kemanusian) tidak sejalan dengan tuntutan ilahiyah (keagamaan), maka yang harus didahulukan dan dimenangkan ialah tuntutan keagamaan. Dampak negatif edukatifnya menjadikan term al-ilm (ilmu) yang dalam Alquran dan Hadis bersifat mutlak tanpa batas menjadi bersifat terbatas hanya pada ilmu-ilmu keagamaan, dan kecenderungan pencapaian spritual  yang lebih menonjol, mendorong pemikiran pendidikan Islam ke arah pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh dinikmati dan bisa dikerjakan. Oleh karena pemikiran pendidikannya terpusat pada bingkai agama, maka pengaturan kehidupan dunia akan diambil oleh orang-orang non Muslim. Hal ini pula menunjukkan sekaligus ketidak berdayaan umat Muslim untuk melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam reformasi dan transformasi solial yang bermoral.
Bagaimana menurut al-Zarnuji sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar? Sebelum dibahas ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan berbagai pendapat para ahli. Menurut Morris L. Bigge, bahwa sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar bermacam-macam. Seperti sifat moral manusia itu jelek, baik dan netral (tidak baik dan tidak pula jelek). Sedangkan aksinya terhadap dunia luar terdiri dari; aktif, pasif, dan interaktif.[22] Aliran yang berpendapat bahwa sifat moral sifat dasar manusia dan aksinya bad-active ialah seperti aliran Theistic Mental Discipline,[23] yang mengatakan bahwa manusia itu pada dasar bawaannya jelek, yang tidak ada harapan baik dari mereka. Sekiranya manusia dibiarkan tumbuh berkembang maka yang tampil adalah kejelekannya saja. Maka fungsi pendidikan adalah mengusahakan pengekangan terhadap sifat dasar ini dan melatih bagian-bagian jiwa ke arah yang baik. Jika percaya bahwa sifat dasar manusia dan aksinya bersifat good-active, maka tanpa mereka dipengaruhi oleh dunia luar, maka akan tampil sifat-sifat baiknya. Implikasinya dalam pendidikan ialah orang-orang yang terlibat dalam pendidikan menyiapkan sedemikian rupa agar dapat mengoptimalisasikan perkembangan individu-indivivu tersebut.
Yang berpandangan bahwa sifat dasar manusia dan aksinya neutral-passive, berarti pada dasarnya manusia itu bersifat netral yang  berpotensi untuk tidak baik dan tidak pula buruk. Aksinya terhadap dunia luar adalah pasif, dalam arti dunia luar termasuk pendidikan, yang membentuk kepribadian seseorang. Karakter seseorang apakah baik atau tidak, sangat tergantung pada polesan alam lingkungannya.
Bagi yang berpendpat bahwa sifat dasar manusia dan aksinya terhadap dunia luar bersifat neutral-interactive, adalah hampir sama dengan neutral-passive, hanya saja aksinya terhadap dunia luar ada proses kerjasama atau interaktif. Berarti pendidikan, tidak akan dapat seratus persen mencetak anak didik sesuai dengan yang dikehendaki, karena pembelajar dapat memberi respon atau dialektis terhadap pengaruh luar. Hasil proses antara sifat dasar dan dunia luar, akan menampilkan model kepribadian seseorang. Sebagai kelanjutan dari berbagai teori di atas muncullah teori-teori yang dikenal dengan Emprirsme, Nativisme dan Konvergensi.
Dalam Filsafat Empirisme disebutkan bahwa perkembangan dan pembentukan manusia itu ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, termasuk pendidikan. Sebagai pelopor aliran ini ialah Joshn Locke ( 1632-1704) yang dikenal denga teori Tabularasa atau Empirisme yaitu bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang memberi corak atau tulisan pada kertas putih tersebut. Bagi John Locke pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang. Nampak dari teori ini bersifat optimis, karena bagaimanpun juga lingkungan dapat diusahakan dan diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Berbeda dengan Nativisme yang lebih pesimis dibanding dengan Empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Athur Schonpenhauer (1788-1860). Ajaran dari filsafat ini mengatakan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh bawaan (kemampuan dasar), bakat serta faktor dalam yang bersifat kodrati. Proses pembentukan dan perkembangan pribadi ditentukan faktor pembawaan ini, yang tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan. Potensi-potensi bawaan inilah sebagai kepribadian manusia, bukan hasil binaan lingkungan pengalaman dan pendidikan. Bagaimanapun usaha pendidikan untuk membentuk pribadi manusia atau tingkatan yang dikehendaki, tanpa didukung oleh potensi dasar tersebut, harapan tersebut tidak akan tercapai. Menurut Muhammad Noor Syam, bahwa aliran ini bersifat pesimistik, karena menerima kepribadian sebagaimana adanya tanpa kepercayaan adanya nilai-nilai pendidikan untuk merubah kepribadian.[24]
Teori (hukum) Konvergensi berbeda dengan kedua teori di atas, yang memposisikan  keduanya secara tajam dan berlawanan. Tentu hal ini tidak dapat diterima. Menurut teori yang dipelopori oleh Willam Stem (1871-1983) ini, bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dari faktor-faktor bakat/ kemampuan dasar dan alam sekitar, termasuk pendidikan. Karena dalam kenyataannya menunjukkan bahwa bawaan dasar yang baik saja, tanpa dibina oleh alam lingkungan, termasuk budaya dan pendidikan tidak akan mencetak pribadi yang ideal. Sebaliknya, lingkungan yang baik terutama pendidikan, tetapi tidak didukung oleh kemampuan dasar tadi, tidak akan menghasilkan kepribadian yang sesuai dengan harapan tujuan pendidikan. Dengan demikian proses perkembangan dan pembentukan kepribadian manusia merupakan proses interaktif dan dialektis antara kemampuan dasar dan alam lingkungan secara berkesinambungan. Perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil proses kerjasama kedua faktor, baik internal (potensi hereditas), maupun faktor eksternal ( lingkungan budaya dan pendidikan).
Disamping teori dari Barat tersebut juga ada teori pemikiran pendidikan Islam yang dikenal dengan teori fitrah. Pemahaman para ahli pendidikan Islam terhadap hakikat fitrah dalam Alquran ternyata membawa implikasi lahirnya teori fitrah dalam pendidikan. Para ahli pendidik muslim mengakui bahwa teori dan praktek pendidikan dipengaruhi oleh pandangan bagaimana kecenderungan sifat dasar manusia dan bagaimana kemampuannya untuk berkembang yang dikenal dengan teori fitrah itu diasumsikan, apakah fatalis-pasif, netral-pasif, positif-aktif, dan dualis-aktif. Kata fitrah dan segala bentuk kata jadiannya tertera pada 19 ayat dalam 17 surat.[25] Menurut Mohamed pemahaman mengenai bawaan dasar (fitrah) manusia dan bagaimana kemampuannya untuk berkembang dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu (1) fatalis-pasif, (2) netral-pasif, (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif.[26]
Teori fatalis-pasif, mengatakan bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah adalah baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian sesuai dengan rencana Tuhan. Kemampuan manusia untuk berkembang menjadi pasif, karena setiap individu terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan Tuhan sebelumnya. Yang berpandangan netral-pasif, berasumsi bahwa anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong sebagaimana adanya, tanpa kesadaran akan iman atau kufur, baik atau jahat. Teori ini sama dengan teori Tabularasa dari John Locke.  Kemampuan individu untuk berkembang adalah pasif dan sangat tergantung dari polesan lingkungan, terutama pendidikan. Yang berpandangan positif-aktif berasumsi bahwa bawaan dasar manusia sejak lahirnya adalah baik, sedangkan kejahatan bersifat aksidental. Kemampuan individu untuk berkembang  bersifat aktif. Manusia merupakan sumber yang mampu membangkitkan dirinya sendiri dari dalam. Yang berpandangan dualis-aktif, berasumsi bahwa bawaan dasar manusia itu bersifat ganda (dualis). Di satu sisi sifat dasarnya cenderung kepada kebaikan, dan di sisi lain cenderung kepada kejahatan. Sifat dualis tersebut sama-sama aktif dan dalam keadaan setara.
Bagaimana menurut al-Zarnuji mengenai proses perkembangan pribadi manusia? Secara eksplisit al-Zarnuji tidak menyebutkan, tetapi secara implisit dapat memberi gambaran kepada pembaca bahwa al-Zarnuji lebih cenderung kepada aliran konvergensi dengan penambahan nilai-nilai Islam. Berikut statemennya[27]:
واما اختيار الأستاذ فينبغى أن يختار الاعلم والاورع والاسن كما اختار ابو حنيفة حينئذ حمّاد بن ابي سليمان بعد بعد التأمل والتفكر. وقال ابو حنيفة رحمه الله تعالى : وجدته شيخا وقورا حليما صبورا.وقال: ثبت عند حماد بن أبي سليمان فنبت.
Maksudnya: Adapun cara memiluh ustadz, maka seseorang yang sedang menuntut ilmu hendaklah mencari ustadz yang paling alim, yang paling wara’ (menjauhkan diri dari dosa, maksiat, dan perkara yang syubhat), dan yang paling tua. Sebagaimana setelah Abu Hanifah merenung dan berpikir, maka dia memilih ustadz Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau  mempunyai kriteria tersebut. Selanjutnya Abu Hanifah berkata : Beliau adalah seorang ustadz yang berakhlak mulia, penyantun dan penyabar. Aku bertahan menuntut ilmu ilmu kepadanya hingga aku seperti sekarang ini.
Begitu pentingnya terma memilih ustadz ini, al-Zarnuji mengutip perkataan orang bijak yaitu jika kamu pergi menuntut ilmu ke Bukhara, maka jangan tergesa-gesa memilih pendidik, tapi menetaplah selama dua bulan hingga kamu berpikir untuk memilih ustadz. Karena bila kamu langsung memilih kepada orang yang alim, maka kadang-kadang cara mengajarnya kurang enak menurutmu, kemudian kamu tinggalkan dan pindah kepada orang alim yang lain, maka belajarmu tidak akan diberkati. Oleh karena itu, selama dua bulan itu kamu harus berpikir dan bermusyawarah untuk memilih ustadz, supaya kamu tidak meninggalkannya dan supaya betah bersamanya hingga ilmumu berkah dan bermanfaat.[28]
Seorang pelajar tidak hanya bersungguh-sungguh memilih ustadz yang akan memberi pengaruh kepadanya tetapi juga memilih teman yang tepat. Berikut pernyataan al-Zarnuji[29]:
و أما اختيار الشريك فينبغى أن يختار المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم و يفر من الكسلان والمعطل والمكثار والمفسد والفتان. قيل:
عن المرءى تسأل وابصر قرينته  *  فإن القرين بالمقارن يقتدي
فإن كان ذاشر فجنبه سرعة       *    وإن كان ذا خير فقارنه تهدى
وانشدت:
لاتصحب الكسلان في حالاته     *     كم صالح بفساد آخر يفسد
عدوى البليد الجليد سريعة       *     كالجمر يوضع في الرماد فيخمد
وقال النبي عليه الصلاة والسلام: كل مولود يولد على فطرة الإسلام الا أن ابواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه.
Maksudnya: Pembelajar harus memilih berteman dengan orang yang tekun belajar, yang wara’, yang mempunyai watak istiqa>mah dan suka berpikir. Dan menghindari berteman dengan pemalas, atheis, banyak bicara, perusak dan tukang fitnah. Seorang penyair berkata : “Janganlah bertanya tentang kelakuan seseorang, tapi lihatlah siapa temannya. Karena seseorang biasanya mengikuti temannya. Kalau temanmu berbudi buruk, maka menjauhlah segera. Dan bila berlaku baik maka bertemanlah dengannya, tentu kamu akan mendapat petunjuk. Ada sebuah syair berbunyi: “Janganlah sekali-kali bersahabat dengan seorang pemalas dalam segala tingkah lakunya. Karena banyak orang  yang menjadi rusak karena kerusakan temannya. Karena sifat malas itu cepat menular.” Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Lebih jelasnya masalah fitrah ini dijelaskan oleh Nabi SAW berikut ini dan artinya:[30]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُول أَبُو هُرَيْرَةَ وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ ( فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ) الْآيَةَ
Dari berbagai statemen al-Zarnuji tersebut menunjukkan bahwa sifat dasar moral manusia itu bersifat good-interactive atau fitrah positif-aktif dalam  klasifikasi pemikiran pendidikan Islam yang digagas oleh Ridha.  Artinya, pada dasarnya manusia itu baik, aktif/interaktif dan aksinya terhadap dunia luar bersifat proses kerjasama antara potensi hereditas dan alam lingkungan pendidikan. Yakni seseorang dapat saja dipengaruhi oleh alam lingkungannya secara penuh atau sebaliknya dunia luar dipengaruhinya sehingga sesuai dengan keinginannya. Atau dirinya dan dunia luar melebur menjadi tarik menarik secara terus menerus dan saling pengaruh serta proses kerjasama. Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan soaial budaya, seperti memilih ustadz,  memilih guru dan memilih lingkungan tempat pembelajar menimba ilmu. Sekalipun demikian, belum dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji beraliran Empirisme, karena pada bab lain ia juga membicarakan tentang tawakkal. Tawakkal tentu merupakan salah ciri dari yang beraliran Nativisme. Sehingga lebih tepat kalau al-Zarnuji dikelompokkan kepada Konvergensi Plus. Karena bagaimanapun juga manusia tidak lepas dari bawaan hereditasnya dan pengaruh alam lingkungannya atau proses kerjasama antaara keduanya (interaktif). Namun juga perlu diingat bahwa dalam sisi kehidupan ini kadang-kadang disadari atau tidak ada ‘inayatullah (pertolongan Tuhan).  Seperti halnya kasus Kan’an (anak Nabi Nuh) yang tetap ingkar sekalipun dibesarkan dan diasuh dalam lingkungan kerasulan, isteri Fir’aun yang tetap wanita shalihah, sekalipun suaminya seorang yang musyrik, istri Nabi Luth tetap durhaka kepada suaminya sekalipun setiap harinya disinari oleh misi kerasulan dan lain-lain yang dicontohkan dalam Alquran. Mungkin itulah yang dapat diistilahkan oleh al-Zarnuji dengan istilah tawakkal.
D. Simpulan
Dari berbagai bahasan yang dikemukakan dapatlah disimpulkan bahwa al-Zarnuji dalam menentukan tujuan belajar/ pendidikan berorientasi kepada tujuan ideal dan tujuan praktis, sekalipun lebih menekankan pada tujuan ideal. Karena dia berkeyakinan bahwa tujuan ideal akan dapat mewarnai terhadap diri pembelajar sehingga tujuan-tujuan praktis, seperti tujuan mencari ilmu untuk memperoleh kedudukan haruslah diberdayakan kepada tujuan mencari rida Allah dan kehidupan di akhirat. Sekalipun tujuan-tujuan yang dikemukakannya belum terperinci, tetapi paling tidak benang merahnya telah nampak yakni tujuan-tujuan itu haruslah ada tujuan yang bersifat individual, sosial dan professional.
Mengenai pendapatnya tentang konsep sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar, nampaknya lebih cenderung kepada good- interactive atau fitrah positif-interaktif. Artinya pada dasarnya cetakan manusia itu baik-interaktif dan merespon terhadap lingkungan social budaya  bersifat proses kerjasama atau dialogis. Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan sosial, seperti memilih guru, teman dan tempat agar ilmu yang diperoleh pembelajar dapat bermanfaat, berkah sebagai hasil dari pengaruh lingkungan tersebut. Demikianlah, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dunia akhirat
والله أعلم بالصواب
DAFTAR PUSTAKA
Abrasyi al, Muhammad Athiyah, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falalsifatuha>, Mesir: ‘Isa al-Bab al-Halabi wa Syurakah, 1975.
Ahmad Athiyatullah, Qa>mus Islami, Mesir: Maktabah Nahdlah, 1970, Jilid ke-3.
Arifin, H.M, Filsafat Pendidikan Islam, Bina Aksara, Jakarta:  Bulan Bintang, 1987.
Attas al, Syed Muhammad al-Naqueib, Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979.
Azim, Ali Abdul, Falsafah Al-Ma’rifah fi> Al-Qur’a>n al-Kari>m, Kairo: Al-Hajah al-‘Ammah al-Syu’un al- Mathabi, 1939 H/ 1973 M.
Baqi al, Muhammad Fuad, Mu’jam al-Mufakhras li al-Fa>z al-Qur’a>n al-Kari>m, Mesir: al-Haidah al-Ammah, 1987.
Bigge, Morris L., Learning Theories for Theachers, USA: Harper and Row, Publisher, Inc, 1982.
Dwiki Setyawan dan Abdullah Mahmud, “Telaah Paradigma Pemikiran Nurkholis Madjid”,  Majalah Rindang, XIX, No. 9,  April 1994.
Ismail, Syekh Ibrahim bin Ismail, Al-Syarh Ta’li>m al-Muta’llim, Indonesia: Maktabah Da>r Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.
Jamali al, Muhammad Fadhil, Tarbiyah al-Insa>n al-Jadi>d, Tunisia:  Al-Syirkah al-Tunisia Thurnisiyah Littauzi, 1967.
Lois Ma’luf, Al-Munjid fi> al-Lugoh wa al-‘A’la>m, Beirut: Da>r al-Masyriq, 1975.
Mohamed, Yasien, Insan Yang Suci, terj. Masyhur Abadi, Bandung: Penerbit Mizan, 1997.
Ridha, Muhammad Jawad, al-Fikr al-Tarbawiy al-Isla>miy, Muqaddimah fi> Us}u>lih al-Ijitima’iyyah wa al-‘Aqla>niyah, Kuwait: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, 1980.
Syabani al, Omar Mohammad Al-Taumy, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Syam, Muhammad Noor, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasioanal, 1986.
Tohari Musnamar, “Masalah Operasionalisasi Konsep Pendidikan Islami di Indonesia dalam Menatap Masa Depan”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, I, No. 2,  April, 1991.
Yaqub, Ali Musthafa, “ Etika Belajar Menurut Az-Zarnuji,”  Pesantern, Vol.III, No. 3,  Februari, 1986.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
BIODATA PENULIS
N a m a  lengkap  Dr. Maragustam, MA. Tempat & Tgl. Lahir    : Tapanuli Selatan,  01 Oktober 1959, dosen tetap Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga. Tempat tinggal Jl. Stadion no. 19 Karangsari,  RT. 03 RW.32 Wedomartani Ngemplak  Sleman Yogyakarta.  Pendidikan yang ditempuh :Sarjana Lengkap Fakultas Tarbiyah IAIN SU-KA, Jurusan Bahasa Arab lulus tahun 1986. Pendidikan S.2 Jurusan Pendidikan di IAIN Sunan Kalijaga,  lulus tahun 1992 dan Pendidikan S.3 di UIN Sunan Kalijaga, lulus tahun 2006. Mulai bekerja di IAIN/UIN sebagai dosen tetap sejak tahun 1987 sampai sekarang. Mengikuti pelatihan Penelitian Keagamaan Islam di IAIN tahun 1998, mengikuti Gender Analysis Training (GAT) Angkatan II Tahun 2000, Peserta Pelatihan Pelatih Orientasi Pengembangan Pembimbing Kemahasiswaan Tahun 2004, mengikuti Workshop Pendidikan Dosen IAIN Sunan Kalijaga tahun 1999 dan mengikuti berbagai Workshop dan seminar. Tahun 2000 sampai dengan 2004 menjabat Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga dan sejak September 2005 menjabat Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Sunan Kalijaga sama sampai sekarang.

[1]Dwiki Setyawan dan Abdullah Mahmud, “Telaah Paradigma Pemikiran Nurkholis Madjid”,  Majalah Rindang, XIX, No. 9 (April 1994),  p. 44
[2] Tohari Musnamar, “Masalah Operasionalisasi Konsep Pendidikan Islami di Indonesia  dalam Menatap Masa Depan”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam,  I, No. 2  (April, 1991), h. 31-32.
[3] Syekh Ibrahim bin Ismail, al-Syarh Ta’li>m  al-Muta’llim, (Indonesia: Maktabah Daar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt),  p.1.
[4] Ahmad Athiyatullah, Qa>mu>s Islami, (Mesir: Maktabah Nahdlah, 1970), Jilid ke-3,  p. 58-““““““““`59.
[5] Lois Ma’luf, al-Munjid fi> al-Lugoh wa al-‘A’la>m, (Beirut: Da>r al-Masyriq, 1975), p. 337.
[6] Ahmad Athiyatullah, Qa>mu>s, p. 58.
[7] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), p. 155.
[8] Ibid., p. 155.
[9]Ahmad Athiyullah, Qa>mu>s,  p. 58
[10] Ali Musthafa Yaqub, “Etika Belajar Menurut Az-Zarnuji,” Pesantern, No.3 Vol.III, No. 3 (Februari, 1986), p. 79.
[11]Muhammad Faadhil al-Jamaly, Tarbiyah al-Insa>n al-Jadi>d, (Tunisia: Al-Syirkah al-Thurnisiyah Littauzi, 1967), p. 99.
[12]Syed Muhammad al-Naqueib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, (Jeddah:  King Abdul Aziz University, 1979), p. 1.
[13] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falalsifatuha>, (Mesir: ‘Isa al-Bab al-Pabi wa Syurakah, 1975), p. 22-25.
[14] Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarh Ta’li>m  al-Muta’llim T{ari>q al-Ta’allum, (Indonesia: Da>r  Ihya> al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.),  p. 10
[15]Ibid.
[16] Ibid., p. 11.
[17] Ibid.
[18]Syaibani al, Omar Mohammad al-Taumy, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Bandung: Bulan Bintang, 1979), p. 399.
[19]Ali Abdul ‘Azim, Falsafah Al-Ma’rifah fi> Al-Qur’an al-Kari>m, (al-Qahirah: Al-Hajah al-‘Ammah al-Syu’un al- Mathaabi,  1939 H/ 1973 M), p. 276
[20] Arifin,  HM., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), p.120.
[21] Ridha, Muhammad Jawwad, al-Fikr al-Tarbawiy al-Isla>miy, Muqaddimah fi Us}u>lih al-Ijitima’iyyah wa al-‘Aqla>niyah, (Kuwait: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, 1980), h. 55-92.
[22] Morris L. Bigge, Learning Theories for Theachers, (USA: Harper and Row, Publisher, Inc, 1982), p. 16.
[23] Ibid., p. 10
[24] Muhammad Nooe Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasioanal, 1986), p. 42.
[25] Baqi al, Muhammad Fuad, Mu’jam al-Mufakhras li al-Fa>z al-Qur’a>n al-Kari>m, (Mesir: al-Haidah al-Ammah, 1987), p. 156-157.
[26]Mohamed, Yasien, Insan Yang Suci, terj. Masyhur Abadi, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), p. 41-75.
[27]Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarh, p. 13.
[28] Ibid., p. 14.
[29] Ibid., p. 15-16
[30] Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi SAW bersabda: Tidak seorang anakpun, kecuali ia dilahirkan sesuai dengan fitrahnya. Kedua orang tuanyalah yang mengyahudikan, menasranikan dan memajusikannya, sebagaimana binatang ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurna anggotan tubuhnya). Apakah kalian mengetahui di antara binatang itu ada yang putus (telinganya atau anggotan tubuh lainnya). Kemudian Abu Hurairah berkata, jika kamu kehendaki bacalah: Fit}ah, (QS. Al-Ru>m [30]:30). Teks hadis tersebut terdapat dalam CD. ROM Mausu’ah al-Hadis\ al-Syari>f, al-Is}da>r al-Awwal 102, Program 6.31, Jami’ al-Huqu>q Mahfuz}ah Shar Libaramij al-Hadis, (1991-1996), Ihya> Syirkat Majmuah al-Alamiah. Hadis tersebut dalam kutub al-tis’ah (Bukhari, Muslim, al-Tarmiz\i, Nasa>i, Abu> Dawud, Ibnu> Majah, Ahmad, Ma>lik, dan al-Da>rimi). Yakni dalam Sahih al-Bukhari, bab tafsir al-Qur’an, hadis nomor 4402, Sahih Muslim, bab al-qadr, nomor 4803, Sunan Abu Daud, bab al-sunnah, nomor 4091, Musnad Ahmad,  dalam bab ba>qi musnad Al-Muks\iri>n, nomor 6884, dan Muwat}t}a’ Ma>lik, bab al-Jana>iz, nomor 507. Para ahli hadis tidak ada yang memberi ilat dan cacat baik terhadap sanad maupun matan. Dengan demikian hadis ini nilaihnya sahih.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More