PEMIKIRAN AL-ZARNUJI DALAM KITAB
TA’LI AL-MUTA’ALLIM TENTANG PENDIDIKAN ISLAM ( Telaah Dalam Perpektif
Filsafat Pendidikan)
Abstract
Ta’lim al-Muta’allim is one of the
Syekh Tajudin Nu’man bin Ibrahim al-Khalil al-Zarnuji’s monumental work who
lived in the century of 6 th H/13-14 AD. There are three reasons why this book
to be foused on this writing; first, the contents of this book are enriched
by Islamic educational values; second, the teaching of this book
have been practised in the Islamic world Education in Indonesia especially in
pesantren (Islamic Boarding School); and the third, the rest of teaching of
this books is still relevant to be applied in Islamic world education today,
more especially religious and pluralistic Indonesian societies who are moslems.
The subject of discussion are as follows (1) what is the purpose of education /
how to get knowledge according to al-Zarnuji in his book, (2) how is the basic
features of human moral and human resource development and (3) how is the
position of al-Zarnuji thought on educational purpose in the map of Islamic
educational philosophy. The approach used in this writing is the instrument of
educational philosophy (exlective incooperative) and the analysis
technique uses analysis content. The result of research according to
al-Zarnuji said fount that the purpose of knowledge education focussed more on
the God’s values/religious compared to human values/worldly. The basic feature
and process of its development are good interactive or positive interactive.
While the position of thought in the map of educational thought are in the
conservative and religious fields and plus convergence.
Key Words: ta’lim al-muta’allim,
tujuan pendidikan, sifat dasar moral, rida Allah, dan aliran pemikiran
pendidikan.
A. Pendahuluan
Persoalan pendidikan merupakan
masalah manusia yang berhubungan dengan kehidupan. Selama manusia ada,
maka selama itu pula persoalan pendidikan ditelaah dan direkonstruksi dari
waktu ke waktu, baik dalam arti makro seperti kebijakan pendidikan, politik
pendidikan, maupun dalam arti mikro, seperti tujuan, metode, pendidik dan
pembelajar, baik konsep filosufinya maupun tataran praktiknya. Aksentuasinya
pada pendidikan, karena masalah kehidupan manusia, pada umumnya dicari
pemecahannya melalui pendidikan.
Perkembangan yang cepat sebagai
dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi, bagaimanapun juga mempengaruhi
terhadap banyaknya masalah dalam usaha dan proses peningkatan kualitas
pendidikan baik pada tataran konsep maupun tataran praktiknya, apalagi kalau
dihubungkan dengan asumsi bahwa problem-problem pendidikan sebenarnya,
berpangkal dari kurang kokohnya landasan filosufis pendidikannya. Sehingga
kajian-kajian mengenai konsep pendidikan yang dilontarkan para ahli merupakan
keharusan. Khusus dalam tulisan ini difokuskan pada pembahasan Kitab Ta’li>m
al-Muta’llim. Warisan intelektual muslim ini penting dikaji ulang, karena
ternyata pemikirannya tersebut relevan diterapkan pada praktik pendidikan
sekarang mengingat pudarnya nilai-nilai akhlak bagi pendidik dan pembelajar.
Untuk itu Nurkholis Madjid mengatakan, bahwa budaya dunia Islam klasik
sedemikian kaya rayanya, sehingga akan merupakan sumber pemiskinan intelektual
yang ironi jika sejarahnya yang telah berjalan lebih empat belas abad itu
diabaikan dan tidak dijadikan bahan pelajaran. Belajar dari sejarah merupakan
perintah langsung dari Allah untuk memperhatikan Sunnatullah. Termasuk di sini
ialah keharusan mempelajari secukupnya warisan kekayaan intelektual Islam.[1]
Kitab ini diangkat kepermukaan karena asumsi penulis bahwa (1) kitab ini telah
memasyarakat pada dunia pendidikan khususnya dunia pendidikan pesantren, (2)
ajaran-ajarannya secara filosufis bersesuaian dengan ruh pendidikan Islam, dan
(3) semakin pudarnya nilai-nilai Islam dalam praktek pendidikan Islam karena
disadari atau tidak dominasi sistem pendidikan Barat telah merasuk dalam dunia
pendidikan Islam. Pada hal pendidikan Barat berbeda dengan pendidikan Islam.
Dalam dunia pendidikan Barat proses pendidikannya semata-mata tanggung jawab
manusia, tidak dihubungkan dengan tanggung jawab keagamaan, tujuan akhir
pendidikannyapun ialah memperoleh kehidupan sejahtera dalam arti materealistik
semaksimal mungkin. Ini tentu berbeda dengan konsep pendidikan Islam, yang
semua aktivitas pendidikan haruslah dikaitkan dengan perwujudannya sebagai
hamba Allah dan sebagai khalifah. Menurut Tohari Musnamar, paling tidak ada
lima perbedaan pendidikan Barat dengan Islam. Pertama, pada umumnya di Barat
proses belajar mengajar tidak dihubungkan dengan Tuhan maupun ajaran agama.
Berdasarkan pandangan hidup Barat yang sekularistik-materialistik, maka motif
dan objek belajar pun adalah sema-mata masalah keduniaan. Berbeda dengan Barat,
Islam mengajarkan bahwa aktivitas belajar dan mengajar itu merupakan suatu amal
ibadah, berkaitan erat dengan pengabdian kepada Allah. Kedua, pada umumnya
konsep pendidikan Barat beranggapan bahwa masalah belajar dan mengajar itu
adalah semata-mata urusan manusia, sedangkan Islam mengajarkan bahwa terdapat
hak-hak Allah dan hak-hak makhluk lainnya pada setiap individu, khususnya bagi
orang yang berilmu. Mereka kelak akan diminta pertanggungan jawabnya bagaimana
cara mengamalkan ilmunya. Ketiga, pada umumnya konsep pendidikan Barat tidak
membahas masalah kehidupan sebelum dan sesudah mati. Belajar hanyalah untuk
kepentingan dunia, sekarang dan di sini. Hal ini sangat berbeda dengan konsep
pendidikan Islam. Belajar tidak hanya untuk kepentingan hidup di dunia
sekarang, tetapi juga untuk kebahagiaan hidup di akhirat nanti. Keempat, konsep
pendidikan Barat pada umumnya tidak dikaitkan dengan pahala dan dosa. Banyak
ahli Barat yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai (values
free). Maka cara-cara apapun boleh ditempuh asal tercapai tujuannya.
Praktek yang demikian itu tentu saja tidak dikenal dalam ajaran Islam.
Kebajikan dan akhlak yang mulia merupakan unsur pokok dalam pendidikan Islam.
Kelima, pada umumnya tujuan akhir konsep pendidikan Barat ialah hidup sejahtera
di dunia secara maksimal, baik sebagai warga negara maupun sebagai warga
masyarakat. Sedangkan tujuan akhir pendidikan Islam ialah terwujudnya insa>n
ka>mil, yang pembentukannya selalu dalam proses sepanjang hidup (has
a beginning but not an end).[2]
Ada tiga persoalan yang diangkat
dalam tulisan ini yaitu (1) apa tujuan pendidikan/memperoleh ilmu menurut
al-Zarnuji (2) bagaimana sifat dasar moral manusia dan pengembangan
sumber daya manusia dan (3) bagaimana posisi pemikiran al-Zarnuji tentang tujuan
pendidikan dalam aliran filsafat pendidikan Islam. Tulisan yang bersifat
deskriptif ini digunakan pendekatan filsafat pendidikan yakni inkorporatif
yakni gagasan dari kajian teks karya al-Zarnuji mengenai pendidikan, dilihat
dari berbagai pemikiran pendidikan yang dilepaskan dari sistem alirannya.
Teknik analisisnya menggunakan content analisis yakni menarik kesimpulan dalam
usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan
sistematis. Dengan demikian pemikiran pengarang kitab tidaklah dihubungkan
dengan setting sosial yang melingkupinya dan latar belakang pendidikannya.
- B. Sketsa Pengarang Kitab Ta’li>m al-Muta’allim
Pengarang kitab Ta’li>m
al-Muta’llim T}ari>q al-Ta’allum ialah al-Zarnuji, yang nama
lengkapnya adalah Syekh Tajuddin Nu’man bin Ibrahim bin al-Khalil Zarnuji.[3]
Dalam Kamus Islam terdapat dua sebutan yang ditujukan kepadanya, yakni
al-Zarnuji ialah Burhanuddin al-Zarnuji, yang hidup pada abad ke-6 H/ 13-14 M
dan Tajuddin al-Zarnuji, ia adalah Nu’man bin Ibrahim yang wafat pada tahun
645H.[4]
Al-Zarnuji adalah seorang sastrawan dari Bukhara,[5]
dan termasuk ulama yang hidup pada abad ke-7 H, atau sekitar abad ke-13-14 M,
ia dapat dikenal pada tahun 593 H dengan kitab Ta’li>m al-Muta’lim.[6]
Kitab ini telah diberi syarah (komentar) oleh Al-‘Allamah al-Jalil
al-Syekh Ibrahim bin Ismail, dengan nama, al-Syarh Ta’li>m al-Muta’llim
T}ari>q al-Ta’allum dan oleh Syekh Yahya bin Ali bin Nashuh (1007 H/
1598M) ahli syair Turki dan Imam Abdul Wahab al-Sya’rani ahli tasauf dan
al-Qadli Zakaria al-Anshari.[7]
Tentunya kitab ini tidak asing lagi
bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di pondok pesantren
Salafiyah, karena kitab ini telah dijadikan referensi utama bagi santri dalam menuntut
ilmu. Menurut Mahmud Yunus bahwa dalam kitab itu disimpulkan pendapat para ahli
pendidikan Islam dan dikuatkan secara khusus pendapat Imam al-Ghazali. Kitab
ini khusus dalam ilmu pendidikan dan berpengaruh sekali dalam alam Islami
sebagai pegangan bagi guru untuk mendidik anak-anak.[8]
Al-Zarnuji tinggal di Zarnuq atau Zarnuj, seperti kata itulah yang dibangsakan
kepadanya. Seperti disebutkan dalam Qa>mu>s Islami[9],
bahwa Zarnuq atau Zarnuji adalah nama negeri yang masyhur yang terletak di
kawasan sungai Tigris (ma> wara’a al-nahr) yakni Turtkistan
Timur.
زرنوجى, أو رنوق, بدة كانت مشهورة في
إقليم ما (وراء النهر [تركستان الشرقية] تقع بالقرب من خوقند.
Dalam kitabnya seacra implisit,
al-Zarnuji tidak menentukan di mana dia tinggal, namun secara umun ia hidup
pada akhir periode Abbasiyah, sebab khafilah Abbasiyah terakhir ialah al-Mu’tashim
(wafat tahun 1258 M/656 H). Ada kemungkinan pula ia tinggal di kawasan
Irak-Iran sebab beliau juga mengetahui syair Persi di samping banyaknya
contoh-scontoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam
kitabnya.[10]
- C. Tujuan Pendidikan/Tujuan Memperoleh Ilmu
Pendidikan merupakan upaya belajar
dengan bantuan orang lain untuk mencapi tujuannya. Maksud tujuan pendidikan
atau belajar/ memperoleh ilmu di sini ialah suatu kondisi tertentu yang
dijadikan acuan untuk menentukan keberhasilan belajar/pendidikan. Dengan kata
lain tujuan pendidikan/belajar dalam arti pendidikan mikro ialah kondisi yang
diinginkan setelah individu-individu melakukan kegiatan belajar. Tujuan adalah
apa yang dicanangkan oleh manusia, diletakkannya sebagai pusat perhatian, dan
demi merealisasikannya dia menata tingkah lakunya. Tujuan itu sangat penting
artinya karena dia berfungsi sebagai pengakhir segala kegiatan, mengarahkan
segala aktivitas pendidikan, merupakan titik pangkal untuk mencapai
tujuan-tujuan lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses
belajar mengajar, dan memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut.
Kualitas dari tujuan itu sendiri bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan
perkembangan kualitas kehidupan manusia. Sebagai contoh, tujuan pendidikan di Sekolah
Dasar ialah cerdas. Makna cerdas sepuluh tahun yang lalu berbeda dengan cerdas
tahun sekarang (2007). Lebih-lebih tujuan pendidikan yang di dalamnya syarat
dengan nilai-nilai yang bersifta fundamental, seperti nilai moral dan nilai
agama. Kualitas takwa pada anak-anak-anak berbeda dengan kutalitas takwa pada
orang dewasa, demikian juga setelah manusia menjelang usia lanjut. Tujuan
pendidikan atau belajar suatu bangsa atau seseorang pada dasarnya bersumber
pada filsafat hidup suatu bangsa itu dan keyakinan dalam beragama. Maka dengan
perbedaan filsafat hidup dan kualitas keagamaan antar ahli pendidikan,
menjadikan lahirnya perbedaan dalam menetapkan tujuan belajar. Secara makro
tentu tujuan pendidikan suatu bangsa akan berbeda dengan tujuan pendidikan bangsa
lain, disamping adanya persamaan-persamaan.
Menurut al-Jamaliy, tujuan
pendidikan Islam antara ialah (1) agar seseorang mengenal statusnya di antara
makhluk dan tangung jawab masing-masing individu di dalam hidup mereka di
dunia, (2) agar mengenal interaksinya di dalam masyarakat dan tanggung jawab
mereka di tengah-tengah sistem kemasyarakatan, (3) supaya manusia kenal alam
semesta dan membimbingnya untuk mencapai hikmat Allah di dalam menciptakan alam
semesta dan memungkinkan manusia menggunakannya, (4) supaya manusia kenal akan
Tuhan Pencipta alam ini dan mendorongnya untuk beribadah kepadanya.[11]
Menurut Syed Muhammad Naqueib bahwa tujuan pendidikan itu supaya menjadikan
manusia itu orang yang baik (the aims of Education in Islam is to produce a
good man).[12]
Sedangkan menurut al-Abrasy, bahwa tujuan umum yang asasi bagi pendidikan Islam
yaitu (1) untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia, (2) untuk persiapan
kehidupan dunia dan akhirat, (3) untuk persiapan mencapai rezeki dan
pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya
bersifat akhlak, atau spritual semata, tetapi menaruh perhatian pada segi
kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Para pendidik
muslim memandang kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan
memadukan antara ilmu agama dan pengetahuan, atau menaruh perhatian pada
segi-segi spritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatan. (4) Untuk menumbuhkan
jiwa ilmiah dan memuaskan keinginan diri untuk mengetahui dan memungkinkan ia
mengkaji ilmu sekedar sabagai ilmu, (5) untuk menyiapkan pembelajar dari
segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi,
teknis dan perusahaan tertentu, supaya ia dapat mencari rizki dalam hidup
dengan mulia disamping memelihara segi spritual dan keagamaan.[13]
Menurut al-Zarnuji tujuan belajar/pendidikan Islam berikut ini:[14]
وينبغى أن ينوي المتعلم يطلب العلم
رضا الله تعالى والدار الآخرة وازلة الجهل من نفسه وعن سائر الجهال وإحياء الدين و
إبقاء الإسلام فأن بقاء الإسلام بالعلم. ولايصح الزهد والتقوى مع الجهل. والنشد
الشيخ الإمام الأجل برهان الدين صاحب الهداية شعرا لبعضهم:
فساد كبير عالم
متهتك *
وأكبر منه جاهل متنسك
هما فتنة في العالمين عظيمة * لمن
بهما فى دينه يتمسك.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut
ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di akhirat,
menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain,
menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam itu dapat lestari,
kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu. Syekh
Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair: “orang alim yang durhaka
bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar
bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di
kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan. Selanjutnya al-Zarnuji
berkata[15]:
وينوي به الشكر على نعمة العقل وصحة
البدن ولا ينوى به اقبال الناس ولا استجلاب حطام الدنيا والكرامة عند السلطان
وغيره. قال محمد ابن الحسن رحمه الله تعالى لو كان الناس كلهم عبيدى لاعتقتهم و
تبرأت عن ولآئهم.
Maksudnya: Seseorang yang menuntut
ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Dan dia
tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan tidak pula untuk mendapatkan
harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan pejabat dan yang lainnya.
Sebagai akibat dari seseorang yang
merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya, maka bagi para pembelajar akan
berpaling halnya dari sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Demikian
pendapat al-Zarnuji, seperti statemen berikut ini[16]:
ومن وجد لذة العلم والعمل به قلما
فيما عند الناس. انشد الشيخ الإمام الآجل الأستاذ قوام الدين حمادالدين ابراهم بن
اسماعيل الصفار الأنصاري املآء لابي حنيفة رحمه الله تعالى شعرا :
من طلب العلم للمعاد * فاز بفضل من
الرشاد
فيالخسران
طالبه * لنيل فضل من العباد.
Maksudnya: Barangsiapa dapat
merasakan lezat ilmu dan nikmat mengamalkannya, maka dia tidak akan begitu
tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam Hammad bin Ibrahim
bin Ismail Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah: Siapa yang menuntut
ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah kebenaran/petunjuk. Dan
kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena mencari kedudukan di
masyarakat.
Tujuan pendidikan menurut al-Zarnuji
sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal), tetapi juga tujuan keduniaan
(praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen pendukung
tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji berikut ini[17]:
اللهم الا اذا طلب الجاه للأمر
بالمعروف والنهى عن المنكر وتنفيذ الحق واعزاز الدين لا لنفسه وهواه فيجوز ذلك
بقدر مايقيم به الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر. وينبغى لطالب العلم أن يتفكر في
ذلك فإنه يتعلم العلم بجهد كثير فلا يصرفه الى الدنيا الحقيرة القليلة الفانية
شعر:
هي الدنيا اقل من
القليل * وعاشقها اذلّ من الذليل
تصم بسحرها قوما و تعمي * فهم
متحيرون بلا دليل.
Maksudnya: Seseorang boleh
memperoleh ilmu dengan tujuan untuk memperoleh kedudukan, kalau kedudukan
tersebut digunakan untuk amar makruf nahi munkar, untuk melaksanakan
kebenaran dan untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari keuntungan untuk
dirinya sendiri, dan tidak pula karena memperturutkan nafsu. Seharusnyalah bagi
pembelajar untuk merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari dengan susah payah
tidak menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar janganlah mencari ilmu
untuk memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan tidak kekal.
Seperti kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit dari yang sedikit,
orang yang terpesona padanya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya
adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka adalah orang-orang
bingung yang tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk.
Menurut al-Syaibani bahwa ada tiga
bidang perubahan yang diinginkan dari tujuan pendidikan yaitu tujuan-tujuan
yang bersifat individual; tujuan-tujuan sosial dan tujuan-tujuan professional.[18]
Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam konsep al-Zarnuji, maka
menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar, mencerdaskan akal, mensyukuri
atas nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan tujuan-tujuan yang bersifat
individual. Karena dengan tiga hal tersebut akan dapat mempengaruhi perubahan
tingkah laku, aktivitas dan akan dapat menikmati kehidupan dunia dan menuju
akhirat. Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan
dari anggota masyarakat (mencerdaskan masyarakat), menghidupkan nilai-nilai
agama, dan melestarikan Agama Islam adalah merupakan tujuan-tujuan sosial.
Karena dengan tiga tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat
sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat pada umumnya. Dari
tujuan-tujuan sosial ini, al-Zarnuji melihat bahwa kesalehan dan kecerdasan itu
tidak hanya saleh dan cerdas untuk diri sendiri, tetapi juga harus mampu
mentransformasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan tujuan
professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu itu ialah
menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun kedudukan
yang telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat secara
keseluruhan. Memperoleh kedudukan di masyarakat tidak lain haruslah dengan
ilmu, dan menguasainya. Baik tujuan individual, sosial dan professional
haruslah atas dasar memperoleh keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat. Untuk
itulah nampaknya al-Zarnuji menempatkan mencari rida Allah dan kebahagiaan
akhirat menjadi awal dari segala tujuan (nilai sentral) bagi
pembelajar. Jika tujuan memperoleh ilmu dibagi kepada empat yakni (1) ilmu
untuk ilmu (kegemaran dan hobi), (2) sebagai penghubung memperoleh kesenangan
materi, (3) sebagai penghubung memajukan kebudayaan dan peradaban mausia, (4)
mencari rida Allah dan kebagiaan akhirat, maka yang terakhir ini sebagai tujuan
sentral, sedangkan tujuan lainnya sebagai tujuan instrumental. Lebih jelasnya
dapat diliat dalam gambar berikut:
Dari gambar diatas jelas terlihat
bahwa tujuan pendidikan/memperoleh ilmu sebagai penghubung mencari rida Allah
dan kebahagiaan akhirat sebagai nilai sentral yang akan menyinari dan
membingkai tiga tujuan di bawahnya. Artinya seseorang boleh saja memperoleh
ilmu untuk kegemaran, peroleh materi atau kemajuan kebudayaan dan peradaban
asalkan saja dibingkai dan disinari oleh nilai-nilai keagamaan. Ini dapat
dimengerti karena tujuan dalam pendidikan sangat penting artinya. Karena
tujuan haruslah diletakkan sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannya,
pembelajar menata tingkah lakunya. Tujuan juga berfungsi sebagai pengakhir
segala kegiatan, mengarahkan segala aktivitas, merupakan titik pangkal untuk
mencapai tujuan-tujuan lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu
proses belajar mengajar, dan memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan
tersebut. Tujuan seperti ini diistilahkan oleh Ali Abdul Azim sebagai tujuan
yang paling agung. Seperti dia katakan berikut ini:[19]
وكان الهداف الأكثر للمعرفة في
الإسلام هو الإتصال بالله سبحانه وتعالى هو المثل الأعلى للحق والخير والجمال.
Maksudnya: Tujuan memperoleh ilmu
pengetahuan yang paling penting dan agung dalam Islam, ialah pembelajar dapat
berhubungan dengan Allah SWT. Tujuan ini merupakan hal yang paling utama untuk
menuju kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Dari gambaran di atas dapat dilihat
bahwa tujuan-tujuan tersebut baik yang bersifat ideal maupun yang bersifat
praktis, mencakup kepada nilai-nilai ideal Islami, yaitu pertama, dimensi
yang mengandung nilai untuk meningkatkan kesejahteraan di dunia. Nilai ini
mendorong seseorang untuk bekerja keras dan professional agar keuntungan dan
kenikmatan dunia dapat diperoleh sebesar-besarnya. Kedua, dimensi yang
mengandung nilal-nilai ruhani dan keakhiratan. Dimensi ini menuntut pembelajar
untuk tidak terbelenggu oleh mata rantai kehidupan yang materealistis di dunia,
tetapi ada tujaun-tujuan yang lebih jauh dan mulia yaitu kehidupan sesudah
mati. Penghayatan terhadap nilai ini, menjadikan pembelajar terkontrol
dari syahwat kenikmatan dunia/materi. Ketiga, dimensi yang mengandung nilai
yang dapat mengintegrasikan antara kehidupan dunia (praktis) dan ukhrawi (ideal).
Menurut Arifin, keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan ini
menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negative dari berbagai gejolak
kehidupan yang menggoda ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spritual,
sosial, kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam hidup pribadi manusia.[20]
Tujuan pembelajar memperoleh ilmu
yang dikemukakan oleh al-Zarnuji jika dilihat dari aliran pendidikan Islam yang
dikemukakan oleh Ridha, maka al-Zarnuji termasuk dalam aliran Konservatif
Religius. Ridha mengatakan, disamping lahirnya teori pendidikan berdasar
pada hakikat fitrah dalam Alquran, juga orientasi keagamaan dan filsafat
negara dalam menafsirkan realitas dunia, fenomena dan eksistensi manusia
melahirkan pemikiran pendidikan Islam terutama menentukan (1) tujuan, (2) ruang
lingkup dan (3) pembagian ilmu. Maka berdasar tiga ini, Ridha
membagi aliran utama pemikiran pendidikan Islam menjadi tiga; al-muha>fiz
(religius konservatif); al-diniy al-‘aqlaniy (religius rasional) dan al-z\arai’iy
(pragmatis instrumental).[21]
Aliran konservatif religius, menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari
ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu,
etika guru dan murid dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari
ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Aliran religius
rasional, tidak jauh berbeda dengan aliran pertama dalam hal kaitan antara
pendidikan dan tujuan belajar adalah tujuan agama. Bedanya, ketika aliran ini
membicarakan persoalan pendidikan cenderung lebih rasional dan filosufis.
Mereka membangun prinsip-prinsip dasar pemikiran pendidikan dari pemikiran
tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan. Aliran pragmatis instrumental,
memandang tujuan pendidikan lebih banyak sisi pragmatis dan lebih berorientasi
pada tataran aplikatif praktis. Ilmu diklasifikasikan berdasar tujuan kegunaan
dan fungsinya dalam hidup.
Menempatkan al-Zarnuji dalam aliran
religius konservatif, karena ia menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari
ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar harus berpangkal
dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Bingkai
agama harus menyinari seluruh aktivitas pembelajar dalam memperoleh ilmu.
Sehingga boleh saja pembelajar bertujuan mencari kedudukan dalam memperoleh
ilmu, tetapi kedudukan itu harus difungsikan untuk tujuan-tujuan keagamaan
yakni amar makruf nahi munkar, menegakkan kebenaran, dan untuk menegakkan agama
Allah. Implikasi dari pemikiran ini sangat jauh. Pembelajar yang semata-mata
mencari rida Allah dalam menuntut ilmu baik dikontrol oleh aturan-aturan yang
dibuat manusia ataupun tidak, dia tetap dalam bingkai kebenaran. Berbeda dengan
pembelajar yang menuntut ilmu karena mencari materi, sewaktu materi tidak di
dapat atau berkurang maka dia akan patah semangat dan pasimis serta tidak
menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
Sebagai implikasi dari pandangan
al-Zarnuji mengenai tujuan pendidikan/memperoleh ilmu tentu terdapat dampak
positif edukatif sebagai kelebihan darinya dan juga terdapat dampak negatif
edukatif sebagai kekurangannya. Dampak edukatif positifnya ialah rasa tanggung
jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan
mengukuhkan rasa tanggung jawab moral itu. Penghargaannya terhadap persoalan
pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggang jawab
keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekedar sebagai
tugas-tugas profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari
itu yakni sebagai tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab keagamaan sebagai
titik sentral dalam pendidikan Islam, di samping tanggung jawab
kemanusiaan baik dalam konstruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi
pendidikan. Tuntutan insaniyah (kemanusian) tidak sejalan dengan
tuntutan ilahiyah (keagamaan), maka yang harus didahulukan dan
dimenangkan ialah tuntutan keagamaan. Dampak negatif edukatifnya menjadikan term
al-ilm (ilmu) yang dalam Alquran dan Hadis bersifat mutlak tanpa batas
menjadi bersifat terbatas hanya pada ilmu-ilmu keagamaan, dan kecenderungan
pencapaian spritual yang lebih menonjol, mendorong pemikiran pendidikan
Islam ke arah pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha
yang sebenarnya boleh dinikmati dan bisa dikerjakan. Oleh karena pemikiran pendidikannya
terpusat pada bingkai agama, maka pengaturan kehidupan dunia akan diambil oleh
orang-orang non Muslim. Hal ini pula menunjukkan sekaligus ketidak berdayaan
umat Muslim untuk melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam reformasi dan
transformasi solial yang bermoral.
Bagaimana menurut al-Zarnuji sifat
dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar? Sebelum dibahas ada
baiknya terlebih dahulu dikemukakan berbagai pendapat para ahli. Menurut Morris
L. Bigge, bahwa sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar
bermacam-macam. Seperti sifat moral manusia itu jelek, baik dan netral (tidak
baik dan tidak pula jelek). Sedangkan aksinya terhadap dunia luar terdiri dari;
aktif, pasif, dan interaktif.[22]
Aliran yang berpendapat bahwa sifat moral sifat dasar manusia dan aksinya bad-active
ialah seperti aliran Theistic Mental Discipline,[23]
yang mengatakan bahwa manusia itu pada dasar bawaannya jelek, yang tidak ada
harapan baik dari mereka. Sekiranya manusia dibiarkan tumbuh berkembang maka
yang tampil adalah kejelekannya saja. Maka fungsi pendidikan adalah
mengusahakan pengekangan terhadap sifat dasar ini dan melatih bagian-bagian
jiwa ke arah yang baik. Jika percaya bahwa sifat dasar manusia dan aksinya
bersifat good-active, maka tanpa mereka dipengaruhi oleh dunia luar,
maka akan tampil sifat-sifat baiknya. Implikasinya dalam pendidikan ialah
orang-orang yang terlibat dalam pendidikan menyiapkan sedemikian rupa agar
dapat mengoptimalisasikan perkembangan individu-indivivu tersebut.
Yang berpandangan bahwa sifat dasar
manusia dan aksinya neutral-passive, berarti pada dasarnya manusia itu
bersifat netral yang berpotensi untuk tidak baik dan tidak pula buruk.
Aksinya terhadap dunia luar adalah pasif, dalam arti dunia luar termasuk
pendidikan, yang membentuk kepribadian seseorang. Karakter seseorang apakah
baik atau tidak, sangat tergantung pada polesan alam lingkungannya.
Bagi yang berpendpat bahwa sifat
dasar manusia dan aksinya terhadap dunia luar bersifat neutral-interactive,
adalah hampir sama dengan neutral-passive, hanya saja aksinya terhadap
dunia luar ada proses kerjasama atau interaktif. Berarti pendidikan, tidak akan
dapat seratus persen mencetak anak didik sesuai dengan yang dikehendaki, karena
pembelajar dapat memberi respon atau dialektis terhadap pengaruh luar. Hasil
proses antara sifat dasar dan dunia luar, akan menampilkan model kepribadian
seseorang. Sebagai kelanjutan dari berbagai teori di atas muncullah teori-teori
yang dikenal dengan Emprirsme, Nativisme dan Konvergensi.
Dalam Filsafat Empirisme disebutkan
bahwa perkembangan dan pembentukan manusia itu ditentukan oleh faktor-faktor
lingkungan, termasuk pendidikan. Sebagai pelopor aliran ini ialah Joshn Locke (
1632-1704) yang dikenal denga teori Tabularasa atau Empirisme yaitu
bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang
memberi corak atau tulisan pada kertas putih tersebut. Bagi John Locke
pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi
seseorang. Nampak dari teori ini bersifat optimis, karena bagaimanpun juga
lingkungan dapat diusahakan dan diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
tujuan yang diharapkan.
Berbeda dengan Nativisme yang lebih
pesimis dibanding dengan Empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Athur
Schonpenhauer (1788-1860). Ajaran dari filsafat ini mengatakan bahwa
perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh bawaan (kemampuan dasar), bakat
serta faktor dalam yang bersifat kodrati. Proses pembentukan dan perkembangan
pribadi ditentukan faktor pembawaan ini, yang tidak dapat diubah oleh pengaruh
alam sekitar atau pendidikan. Potensi-potensi bawaan inilah sebagai kepribadian
manusia, bukan hasil binaan lingkungan pengalaman dan pendidikan. Bagaimanapun
usaha pendidikan untuk membentuk pribadi manusia atau tingkatan yang
dikehendaki, tanpa didukung oleh potensi dasar tersebut, harapan tersebut tidak
akan tercapai. Menurut Muhammad Noor Syam, bahwa aliran ini bersifat
pesimistik, karena menerima kepribadian sebagaimana adanya tanpa kepercayaan
adanya nilai-nilai pendidikan untuk merubah kepribadian.[24]
Teori (hukum) Konvergensi berbeda
dengan kedua teori di atas, yang memposisikan keduanya secara tajam dan
berlawanan. Tentu hal ini tidak dapat diterima. Menurut teori yang dipelopori
oleh Willam Stem (1871-1983) ini, bahwa perkembangan manusia itu berlangsung
atas pengaruh dari faktor-faktor bakat/ kemampuan dasar dan alam sekitar,
termasuk pendidikan. Karena dalam kenyataannya menunjukkan bahwa bawaan dasar
yang baik saja, tanpa dibina oleh alam lingkungan, termasuk budaya dan
pendidikan tidak akan mencetak pribadi yang ideal. Sebaliknya, lingkungan yang
baik terutama pendidikan, tetapi tidak didukung oleh kemampuan dasar tadi,
tidak akan menghasilkan kepribadian yang sesuai dengan harapan tujuan
pendidikan. Dengan demikian proses perkembangan dan pembentukan kepribadian
manusia merupakan proses interaktif dan dialektis antara kemampuan dasar dan
alam lingkungan secara berkesinambungan. Perkembangan pribadi sesungguhnya
adalah hasil proses kerjasama kedua faktor, baik internal (potensi hereditas),
maupun faktor eksternal ( lingkungan budaya dan pendidikan).
Disamping teori dari Barat tersebut
juga ada teori pemikiran pendidikan Islam yang dikenal dengan teori fitrah.
Pemahaman para ahli pendidikan Islam terhadap hakikat fitrah dalam Alquran
ternyata membawa implikasi lahirnya teori fitrah dalam pendidikan. Para ahli
pendidik muslim mengakui bahwa teori dan praktek pendidikan dipengaruhi oleh
pandangan bagaimana kecenderungan sifat dasar manusia dan bagaimana
kemampuannya untuk berkembang yang dikenal dengan teori fitrah itu diasumsikan,
apakah fatalis-pasif, netral-pasif, positif-aktif, dan dualis-aktif. Kata
fitrah dan segala bentuk kata jadiannya tertera pada 19 ayat dalam 17 surat.[25]
Menurut Mohamed pemahaman mengenai bawaan dasar (fitrah) manusia dan bagaimana
kemampuannya untuk berkembang dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu (1)
fatalis-pasif, (2) netral-pasif, (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif.[26]
Teori fatalis-pasif, mengatakan
bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah adalah baik atau jahat secara
asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian sesuai
dengan rencana Tuhan. Kemampuan manusia untuk berkembang menjadi pasif, karena
setiap individu terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan Tuhan
sebelumnya. Yang berpandangan netral-pasif, berasumsi bahwa anak lahir dalam
keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong sebagaimana adanya, tanpa
kesadaran akan iman atau kufur, baik atau jahat. Teori ini sama dengan teori
Tabularasa dari John Locke. Kemampuan individu untuk berkembang adalah
pasif dan sangat tergantung dari polesan lingkungan, terutama pendidikan. Yang
berpandangan positif-aktif berasumsi bahwa bawaan dasar manusia sejak lahirnya
adalah baik, sedangkan kejahatan bersifat aksidental. Kemampuan individu untuk
berkembang bersifat aktif. Manusia merupakan sumber yang mampu
membangkitkan dirinya sendiri dari dalam. Yang berpandangan dualis-aktif,
berasumsi bahwa bawaan dasar manusia itu bersifat ganda (dualis). Di satu sisi
sifat dasarnya cenderung kepada kebaikan, dan di sisi lain cenderung kepada
kejahatan. Sifat dualis tersebut sama-sama aktif dan dalam keadaan setara.
Bagaimana menurut al-Zarnuji
mengenai proses perkembangan pribadi manusia? Secara eksplisit al-Zarnuji tidak
menyebutkan, tetapi secara implisit dapat memberi gambaran kepada pembaca bahwa
al-Zarnuji lebih cenderung kepada aliran konvergensi dengan penambahan
nilai-nilai Islam. Berikut statemennya[27]:
واما اختيار الأستاذ فينبغى أن يختار
الاعلم والاورع والاسن كما اختار ابو حنيفة حينئذ حمّاد بن ابي سليمان بعد بعد
التأمل والتفكر. وقال ابو حنيفة رحمه الله تعالى : وجدته شيخا وقورا حليما
صبورا.وقال: ثبت عند حماد بن أبي سليمان فنبت.
Maksudnya: Adapun cara memiluh
ustadz, maka seseorang yang sedang menuntut ilmu hendaklah mencari ustadz yang
paling alim, yang paling wara’ (menjauhkan diri dari dosa, maksiat, dan
perkara yang syubhat), dan yang paling tua. Sebagaimana setelah Abu
Hanifah merenung dan berpikir, maka dia memilih ustadz Hammad bin Abi Sulaiman,
karena beliau mempunyai kriteria tersebut. Selanjutnya Abu Hanifah
berkata : Beliau adalah seorang ustadz yang berakhlak mulia, penyantun dan
penyabar. Aku bertahan menuntut ilmu ilmu kepadanya hingga aku seperti sekarang
ini.
Begitu pentingnya terma memilih
ustadz ini, al-Zarnuji mengutip perkataan orang bijak yaitu jika kamu pergi
menuntut ilmu ke Bukhara, maka jangan tergesa-gesa memilih pendidik, tapi
menetaplah selama dua bulan hingga kamu berpikir untuk memilih ustadz. Karena
bila kamu langsung memilih kepada orang yang alim, maka kadang-kadang cara
mengajarnya kurang enak menurutmu, kemudian kamu tinggalkan dan pindah kepada
orang alim yang lain, maka belajarmu tidak akan diberkati. Oleh karena itu,
selama dua bulan itu kamu harus berpikir dan bermusyawarah untuk memilih
ustadz, supaya kamu tidak meninggalkannya dan supaya betah bersamanya hingga
ilmumu berkah dan bermanfaat.[28]
Seorang pelajar tidak hanya
bersungguh-sungguh memilih ustadz yang akan memberi pengaruh kepadanya tetapi
juga memilih teman yang tepat. Berikut pernyataan al-Zarnuji[29]:
و أما اختيار الشريك فينبغى أن يختار
المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم و يفر من الكسلان والمعطل والمكثار
والمفسد والفتان. قيل:
عن المرءى تسأل وابصر قرينته
* فإن القرين بالمقارن يقتدي
فإن كان ذاشر فجنبه سرعة
* وإن كان ذا خير فقارنه تهدى
وانشدت:
لاتصحب الكسلان في حالاته
* كم صالح بفساد آخر يفسد
عدوى البليد الجليد
سريعة * كالجمر يوضع
في الرماد فيخمد
وقال النبي عليه الصلاة والسلام: كل
مولود يولد على فطرة الإسلام الا أن ابواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه.
Maksudnya: Pembelajar harus memilih
berteman dengan orang yang tekun belajar, yang wara’, yang mempunyai
watak istiqa>mah dan suka berpikir. Dan menghindari berteman dengan
pemalas, atheis, banyak bicara, perusak dan tukang fitnah. Seorang penyair
berkata : “Janganlah bertanya tentang kelakuan seseorang, tapi lihatlah siapa
temannya. Karena seseorang biasanya mengikuti temannya. Kalau temanmu berbudi
buruk, maka menjauhlah segera. Dan bila berlaku baik maka bertemanlah
dengannya, tentu kamu akan mendapat petunjuk. Ada sebuah syair berbunyi:
“Janganlah sekali-kali bersahabat dengan seorang pemalas dalam segala tingkah
lakunya. Karena banyak orang yang menjadi rusak karena kerusakan
temannya. Karena sifat malas itu cepat menular.” Nabi Muhammad SAW bersabda :
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang
menyebabkan anak itu menjadi beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Lebih
jelasnya masalah fitrah ini dijelaskan oleh Nabi SAW berikut ini dan artinya:[30]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ
يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ
مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ
وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً
جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُول أَبُو هُرَيْرَةَ
وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ ( فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ) الْآيَةَ
Dari berbagai statemen al-Zarnuji
tersebut menunjukkan bahwa sifat dasar moral manusia itu bersifat good-interactive
atau fitrah positif-aktif dalam klasifikasi pemikiran pendidikan Islam
yang digagas oleh Ridha. Artinya, pada dasarnya manusia itu baik,
aktif/interaktif dan aksinya terhadap dunia luar bersifat proses kerjasama
antara potensi hereditas dan alam lingkungan pendidikan. Yakni seseorang dapat
saja dipengaruhi oleh alam lingkungannya secara penuh atau sebaliknya dunia
luar dipengaruhinya sehingga sesuai dengan keinginannya. Atau dirinya dan dunia
luar melebur menjadi tarik menarik secara terus menerus dan saling pengaruh
serta proses kerjasama. Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan
kepada penataan lingkungan soaial budaya, seperti memilih ustadz, memilih
guru dan memilih lingkungan tempat pembelajar menimba ilmu. Sekalipun demikian,
belum dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji beraliran Empirisme, karena pada bab
lain ia juga membicarakan tentang tawakkal. Tawakkal tentu merupakan
salah ciri dari yang beraliran Nativisme. Sehingga lebih tepat
kalau al-Zarnuji dikelompokkan kepada Konvergensi Plus. Karena
bagaimanapun juga manusia tidak lepas dari bawaan hereditasnya dan pengaruh
alam lingkungannya atau proses kerjasama antaara keduanya (interaktif). Namun
juga perlu diingat bahwa dalam sisi kehidupan ini kadang-kadang disadari atau
tidak ada ‘inayatullah (pertolongan Tuhan). Seperti halnya kasus
Kan’an (anak Nabi Nuh) yang tetap ingkar sekalipun dibesarkan dan diasuh dalam
lingkungan kerasulan, isteri Fir’aun yang tetap wanita shalihah,
sekalipun suaminya seorang yang musyrik, istri Nabi Luth tetap durhaka kepada
suaminya sekalipun setiap harinya disinari oleh misi kerasulan dan lain-lain
yang dicontohkan dalam Alquran. Mungkin itulah yang dapat diistilahkan oleh
al-Zarnuji dengan istilah tawakkal.
D. Simpulan
Dari berbagai bahasan yang
dikemukakan dapatlah disimpulkan bahwa al-Zarnuji dalam menentukan tujuan
belajar/ pendidikan berorientasi kepada tujuan ideal dan tujuan praktis,
sekalipun lebih menekankan pada tujuan ideal. Karena dia berkeyakinan bahwa
tujuan ideal akan dapat mewarnai terhadap diri pembelajar sehingga
tujuan-tujuan praktis, seperti tujuan mencari ilmu untuk memperoleh kedudukan
haruslah diberdayakan kepada tujuan mencari rida Allah dan kehidupan di
akhirat. Sekalipun tujuan-tujuan yang dikemukakannya belum terperinci, tetapi
paling tidak benang merahnya telah nampak yakni tujuan-tujuan itu haruslah ada
tujuan yang bersifat individual, sosial dan professional.
Mengenai pendapatnya tentang konsep
sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar, nampaknya lebih
cenderung kepada good- interactive atau fitrah positif-interaktif.
Artinya pada dasarnya cetakan manusia itu baik-interaktif dan merespon terhadap
lingkungan social budaya bersifat proses kerjasama atau dialogis. Namun
nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan sosial,
seperti memilih guru, teman dan tempat agar ilmu yang diperoleh pembelajar
dapat bermanfaat, berkah sebagai hasil dari pengaruh lingkungan tersebut.
Demikianlah, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dunia akhirat
والله أعلم بالصواب
DAFTAR PUSTAKA
Abrasyi al, Muhammad Athiyah, Al-Tarbiyah
al-Islamiyah wa Falalsifatuha>, Mesir: ‘Isa al-Bab al-Halabi wa
Syurakah, 1975.
Ahmad Athiyatullah, Qa>mus
Islami, Mesir: Maktabah Nahdlah, 1970, Jilid ke-3.
Arifin, H.M, Filsafat Pendidikan Islam,
Bina Aksara, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Attas al, Syed Muhammad al-Naqueib, Aims
and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University,
1979.
Azim, Ali Abdul, Falsafah
Al-Ma’rifah fi> Al-Qur’a>n al-Kari>m, Kairo: Al-Hajah al-‘Ammah
al-Syu’un al- Mathabi, 1939 H/ 1973 M.
Baqi al, Muhammad Fuad, Mu’jam
al-Mufakhras li al-Fa>z al-Qur’a>n al-Kari>m, Mesir: al-Haidah
al-Ammah, 1987.
Bigge, Morris L., Learning
Theories for Theachers, USA: Harper and Row, Publisher, Inc, 1982.
Dwiki Setyawan dan Abdullah Mahmud,
“Telaah Paradigma Pemikiran Nurkholis Madjid”, Majalah Rindang,
XIX, No. 9, April 1994.
Ismail, Syekh Ibrahim bin Ismail, Al-Syarh
Ta’li>m al-Muta’llim, Indonesia: Maktabah Da>r Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyah, tt.
Jamali al, Muhammad Fadhil, Tarbiyah
al-Insa>n al-Jadi>d, Tunisia: Al-Syirkah al-Tunisia Thurnisiyah
Littauzi, 1967.
Lois Ma’luf, Al-Munjid fi>
al-Lugoh wa al-‘A’la>m, Beirut: Da>r al-Masyriq, 1975.
Mohamed, Yasien, Insan Yang Suci,
terj. Masyhur Abadi, Bandung: Penerbit Mizan, 1997.
Ridha, Muhammad Jawad, al-Fikr
al-Tarbawiy al-Isla>miy, Muqaddimah fi> Us}u>lih al-Ijitima’iyyah wa
al-‘Aqla>niyah, Kuwait: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, 1980.
Syabani al, Omar Mohammad Al-Taumy, Falsafah
Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Syam, Muhammad Noor, Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha
Nasioanal, 1986.
Tohari Musnamar, “Masalah
Operasionalisasi Konsep Pendidikan Islami di Indonesia dalam Menatap Masa
Depan”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, I, No. 2, April, 1991.
Yaqub, Ali Musthafa, “ Etika
Belajar Menurut Az-Zarnuji,” Pesantern, Vol.III, No. 3,
Februari, 1986.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan
Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
BIODATA PENULIS
N a m a lengkap Dr.
Maragustam, MA. Tempat & Tgl. Lahir : Tapanuli
Selatan, 01 Oktober 1959, dosen tetap Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga.
Tempat tinggal Jl. Stadion no. 19 Karangsari, RT. 03 RW.32 Wedomartani
Ngemplak Sleman Yogyakarta. Pendidikan yang ditempuh :Sarjana
Lengkap Fakultas Tarbiyah IAIN SU-KA, Jurusan Bahasa Arab lulus tahun 1986.
Pendidikan S.2 Jurusan Pendidikan di IAIN Sunan Kalijaga, lulus tahun
1992 dan Pendidikan S.3 di UIN Sunan Kalijaga, lulus tahun 2006. Mulai bekerja
di IAIN/UIN sebagai dosen tetap sejak tahun 1987 sampai sekarang. Mengikuti
pelatihan Penelitian Keagamaan Islam di IAIN tahun 1998, mengikuti Gender
Analysis Training (GAT) Angkatan II Tahun 2000, Peserta Pelatihan Pelatih
Orientasi Pengembangan Pembimbing Kemahasiswaan Tahun 2004, mengikuti Workshop
Pendidikan Dosen IAIN Sunan Kalijaga tahun 1999 dan mengikuti berbagai Workshop
dan seminar. Tahun 2000 sampai dengan 2004 menjabat Pembantu Dekan Bidang
Kemahasiswaan Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga dan sejak September 2005
menjabat Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Sunan Kalijaga sama sampai
sekarang.
[1]Dwiki
Setyawan dan Abdullah Mahmud, “Telaah Paradigma Pemikiran Nurkholis
Madjid”, Majalah Rindang, XIX, No. 9 (April 1994), p. 44
[2]
Tohari Musnamar, “Masalah Operasionalisasi Konsep Pendidikan Islami di
Indonesia dalam Menatap Masa Depan”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam,
I, No. 2 (April, 1991), h. 31-32.
[3]
Syekh Ibrahim bin Ismail, al-Syarh Ta’li>m al-Muta’llim, (Indonesia:
Maktabah Daar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt), p.1.
[4]
Ahmad Athiyatullah, Qa>mu>s Islami, (Mesir: Maktabah Nahdlah,
1970), Jilid ke-3, p. 58-““““““““`59.
[5]
Lois Ma’luf, al-Munjid fi> al-Lugoh wa al-‘A’la>m, (Beirut:
Da>r al-Masyriq, 1975), p. 337.
[6]
Ahmad Athiyatullah, Qa>mu>s, p. 58.
[7]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung,
1990), p. 155.
[8]
Ibid., p. 155.
[9]Ahmad
Athiyullah, Qa>mu>s, p. 58
[10]
Ali Musthafa Yaqub, “Etika Belajar Menurut Az-Zarnuji,” Pesantern, No.3
Vol.III, No. 3 (Februari, 1986), p. 79.
[11]Muhammad
Faadhil al-Jamaly, Tarbiyah al-Insa>n al-Jadi>d, (Tunisia:
Al-Syirkah al-Thurnisiyah Littauzi, 1967), p. 99.
[12]Syed
Muhammad al-Naqueib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education,
(Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), p. 1.
[13]
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falalsifatuha>,
(Mesir: ‘Isa al-Bab al-Pabi wa Syurakah, 1975), p. 22-25.
[14]
Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarh Ta’li>m al-Muta’llim T{ari>q
al-Ta’allum, (Indonesia: Da>r Ihya> al-Kutub al-‘Arabiyah,
tt.), p. 10
[16]
Ibid., p. 11.
[17]
Ibid.
[18]Syaibani
al, Omar Mohammad al-Taumy, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan
Langgulung, (Bandung: Bulan Bintang, 1979), p. 399.
[19]Ali
Abdul ‘Azim, Falsafah Al-Ma’rifah fi> Al-Qur’an al-Kari>m, (al-Qahirah:
Al-Hajah al-‘Ammah al-Syu’un al- Mathaabi, 1939 H/ 1973 M), p. 276
[20]
Arifin, HM., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara,
1987), p.120.
[21]
Ridha, Muhammad Jawwad, al-Fikr al-Tarbawiy al-Isla>miy, Muqaddimah fi
Us}u>lih al-Ijitima’iyyah wa al-‘Aqla>niyah, (Kuwait: Da>r al-Fikr
al-‘Arabiy, 1980), h. 55-92.
[22]
Morris L. Bigge, Learning Theories for Theachers, (USA: Harper and Row,
Publisher, Inc, 1982), p. 16.
[23]
Ibid., p. 10
[24]
Muhammad Nooe Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasioanal, 1986), p. 42.
[25]
Baqi al, Muhammad Fuad, Mu’jam al-Mufakhras li al-Fa>z al-Qur’a>n
al-Kari>m, (Mesir: al-Haidah al-Ammah, 1987), p. 156-157.
[26]Mohamed,
Yasien, Insan Yang Suci, terj. Masyhur Abadi, (Bandung: Penerbit Mizan,
1997), p. 41-75.
[27]Syekh
Ibrahim bin Ismail, Syarh, p. 13.
[28]
Ibid., p. 14.
[29]
Ibid., p. 15-16
[30]
Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi SAW bersabda: Tidak seorang
anakpun, kecuali ia dilahirkan sesuai dengan fitrahnya. Kedua orang tuanyalah
yang mengyahudikan, menasranikan dan memajusikannya, sebagaimana binatang
ternak memperanakkan seekor binatang (yang sempurna anggotan tubuhnya). Apakah
kalian mengetahui di antara binatang itu ada yang putus (telinganya atau
anggotan tubuh lainnya). Kemudian Abu Hurairah berkata, jika kamu kehendaki
bacalah: Fit}ah, (QS. Al-Ru>m [30]:30). Teks hadis tersebut terdapat
dalam CD. ROM Mausu’ah al-Hadis\ al-Syari>f, al-Is}da>r al-Awwal 102,
Program 6.31, Jami’ al-Huqu>q Mahfuz}ah Shar Libaramij al-Hadis,
(1991-1996), Ihya> Syirkat Majmuah al-Alamiah. Hadis tersebut dalam kutub
al-tis’ah (Bukhari, Muslim, al-Tarmiz\i, Nasa>i, Abu> Dawud, Ibnu>
Majah, Ahmad, Ma>lik, dan al-Da>rimi). Yakni dalam Sahih al-Bukhari, bab tafsir
al-Qur’an, hadis nomor 4402, Sahih Muslim, bab al-qadr, nomor 4803,
Sunan Abu Daud, bab al-sunnah, nomor 4091, Musnad Ahmad, dalam bab
ba>qi musnad Al-Muks\iri>n, nomor 6884, dan Muwat}t}a’ Ma>lik,
bab al-Jana>iz, nomor 507. Para ahli hadis tidak ada yang memberi ilat dan
cacat baik terhadap sanad maupun matan. Dengan demikian hadis ini nilaihnya
sahih.
0 komentar:
Posting Komentar