PEMIKIRAN
PENDIDIKAN ISLAM KH HASYIM ASY'ARI
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM KH HASYIM ASY'ARI
A. PENDAHULUAN
Sosok ulama yang satu ini sudah begitu akrab
di telinga umat Islam Indonesia khususnya, karena beliau merupakan pendiri
organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Akan tetapi ketokohan
dan keharuman nama beliau bukan hanya karena aktivitas dakwah beliau sebagai
pendiri NU, melainkan juga karena beliau termasuk pemikir dan pembaharu
Pendidikan Islam. Dilahirkan dari keluarga elit kiai di Jombang,
K.H.M.Hasyim Asy’ari pernah belajar di
berbagai pesantren di Jawa sebelum melanjutkan pendidikan ke tanah Hijaz.
Kemudian kembali ke Indonesia dan mendirikan pesantren Tebuireng Jombang yang
terkenal dengan ilmu haditsnya. Kedalaman ilmu, dan pemikirannya dalam
pendidikan sangat brilian, sampai-sampai para kiai di Jawa memberinya gelar “Hadratus
Syekh” yang berarti “Tuan Guru Besar”.[1]
Sejak pertengahan abad ke-19, telah banyak
para kawula muda Indonesia yang belajar di Mekkah dan Madinah, untuk menekuni
agama Islam. Di pusat-pusat studi di Timur Tengah, terutama di Mekkah, banyak
bertebaran berbagai literatur ke-Islaman. Realitas ini amat memungkinkan bagi
mereka yang belajar di sana, untuk mencapai tingkat pengetahuan yang lebih luas
serta pandangan yang lebih terbuka mengenai sosok Islam.
Di antara mereka yang berhasil gemilang di
dalam mengkaji Islam adalah Syekh Nawawi al Bantani dari Banten Jawa Barat,
Syekh Mahfudz Attarmisi dari Pacitan Jawa Timur, serta Syekh Ahmad Chatib
Sambas dari Kalimantan. Kesuksesan mereka ini ditandai dengan kedalaman ilmu
yang mereka miliki, yang bukan saja diakui oleh masyarakat Tanah Suci Mekkah
melainkan juga diakui oleh masyarakat Arab pada umumnya.[2]
Generasi berikutnya yang juga merupakan murid
langsung dari mereka itu antara lain. Muhammad Hasyim Asy’ari. Hasyim Asy’ari
yang haus akan ilmu pengetahuan, belajar dari pesantren ke pesantren di daerah
Jawa, dan terus belajar ke Mekkah kurang lebih 7 tahun. Zamakhsyari Dhofier
melukiskan pribadi Hasyim Asy’ari sebagai seorang yang memiliki kedalaman ilmu
secara luar biasa, melalui tangan beliau inilah lahir ulama-ulama terkemuka di
Jawa yang nyaris seluruhnya menjadi pendiri dan pengasuh pesantren di daerahnya
masing-masing.
Hasyim Asy’ari adalah seorang kiai yang
pemikiran dan sepak terjangnya berpengaruh dari Aceh sampai Maluku, bahkan
sampai ke Melayu. Santri-santri ada yang dari Ambon, Sulawesi, Kalimantan,
Sumatera dan Aceh, bahkan ada beberapa orang dari Kuala Lumpur. Beliau terkenal
orang yang alim dan adil, selalu mencari kebenaran, baik kebenaran dunia maupun
kebenaran akhirat. Semasa hidupnya beliau diberi kedudukan sebagai Rais Akbar
NU, suatu jabatan yang hanya diberikan kepada Hasyim Asy’ari satu-satunya. Bagi
ulama lain yang menjabat jabatan tersebut, tidak lagi menyandang sebutan Rais
Akbar melainkan Rais Am. Hal ini karena ulama lain yang menggantikannya merasa
lebih rendah dibandingkan Hasyim Asy’ari.[3]
Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam bidang
Pendidikan lebih banyak ditinjau dari segi etika dalam pendidikan. Etika dalam
pendidikan banyak diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin pada
bagian adab kesopanan pelajar dan pengajar. Dalam dunia pendidikan sekarang,
banyak disinggung dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip pelaksanaan
pendidikan. dan para ahli psikologi pendidikan, menyinggungnya dalam
kepribadian yang efektif bagi pelajar dan mengajar.
Di antara adab pelajar menurut Al-Ghazali
adalah: mendahulukan kesucian batin dari kerendahan budi dan sifat-sifat
tercela, jangan menyombongkan diri dan jangan menentang guru, memulai belajar
dalam bidang ilmu yang lebih penting, dan menghiasi diri dengan sifat-sifat
utama. Sedangkan di antara adab seorang pengajar adalah: memulai pelajaran
dengan basmalah, mempunyai rasa belas-kasihan kepada murid-murid dan
memperlakukannya sebagai anak sendiri, mengikuti jejak Rasul, mengajar bukan
untuk mencari upah tetapi semata-mata karena ibadah pada Allah, mengamalkan
sepanjang ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatannya.[4]
Pemikiran Hasyim Asy’ari sendiri dalam hal ini
boleh jadi diwarnai dengan keahliannya dalam bidang hadits, dan pemikirannya
dalam bidang tasawuf dan fiqh. Serta didorong pula oleh situasi pendidikan yang
ada pada saat itu, yang mulai mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat,
dari kebiasaan lama (tradisonal) yang sudah mapan ke dalam bentuk baru (modern)
akibat pengaruh sistem pendidikan Barat (Imperialis Belanda) yang
diterapkan di Indonesia.
B. PEMBAHASAN
1) Riwayat Hidup
K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari
Hasyim Asy’ari lahir di desa Nggedang sekitar
dua kilometer sebelah Timur Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pada hari Selasa
kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14 Pebruari 1871 M.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abd. Al Wahid ibn Abd. Al
Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd. Al Rahman Ibn Abd. Al Aziz
Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari Raden Ain al Yaqin yang disebut dengan
Sunan Giri.[5] Dipercaya pula bahwa mereka
adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tinggir dan raja Hindu Majapahit,
Brawijaya VI. Jadi Hasyim Asy’ari juga dipercaya keturunan dari keluarga
bangsawan.[6]
Ibunya, Halimah adalah putri dari kiai Ustman,
guru Asy’ari sewaktu mondok di pesantren. Jadi, ayah Hasyim adalah santri
pandai yang mondok di kiai Ustman, hingga akhirnya karena kepandaian dan akhlak
luhur yang dimiliki, ia diambil menjadi menantu dan dinikahkan dengan Halimah.
Sementara kiai Ustman sendiri adalah kiai terkenal dan juga pendiri pesantren
Gedang yang didirikannya pada akhir abad ke-19. Hasyim Asy’ari adalah anak
ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafiah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan,
Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan.
Dari lingkungan pesantren inilah Hasyim
Asy’ari mendapat didikan awal tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
ke-Islaman. Hingga usia lima tahun, Hasyim mendapat tempaan dan asuhan orangtua
dan kakeknya di pesantren Gedang. Mula-mula ia belajar pada ayahnya sendiri,
lalu bergabung bersama santri lain untuk memperdalam ilmu agama dan pesantren
itu para santri mengamalkan ajaran agama dan belajar berbagai cabang ilmu agama
Islam.
Suasana ini tidak diragukan lagi mempengaruhi
karakter Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar. Minat bacanya sangat
tinggi, hingga yang dibaca bukan hanya buku-buku pelajaran dengan
literatur-leteratur Islam, tetapi juga buku-buku lain dan umum.
Pada tahun 1876, ketika Hasyim Asy’ari berumur
6 tahun, ayahnya mendirikan pesantren di sebelah Selatan Jombang, suatu
pengalaman yang di masa mendatang mempengaruhi beliau untuk kemudian mendirikan
pesantren sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa kehidupan masa kecilnya di
lingkungan pesantren berperan besar dalam pembentukan wataknya yang haus ilmu
pengetahuan dan kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik.
Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan
ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di
samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah
bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya.[7] Mimpi tersebut kiranya
bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam
sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari
sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar
santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri. Serta di
kemudian hari kita saksikan sepak terjang dan perjuangannya di berbagai bidang.
Pada usia muda Hasyim Asy’ari mulai melakukan
pengembaraan ke berbagai pesantren di luar daerah Jombang. Pada awalnya, ia
menjadi santri di pesantren Wonokojo di Probolinggo, kemudian berpindah ke
pesantren Langitan, Tuban. Dari Langitan santri yang cerdas tersebut berpindah
lagi ke pesantren Trenggilis, hingga pesantren Kademangan Bangkalan, di Madura
sebuah pesantren yang diasuh kyai Khalil. Terakhir sebelum belajar ke Mekkah,
ia sempat nyantri dan tinggal lama di pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, di
bawah asuhan kiai Ya’qub, sampai akhirnya diambil menantu oleh kiai Ya’qub,
dinikahkan dengan anaknya yang bernama Khadijah tahun 1892.
Tidak berapa lama kemudian ia beserta isteri
dan mertuanya berangkat haji ke Mekkah yang dilanjutkan dengan belajar di sana.
Modal pengetahuan agama selama nyantri di tanah air memudahkan Hasyim memahami
pelajaran selama di Mekkah. Akan tetapi setelah isterinya meninggal karena
melahirkan, menyebabkannya kembali ke tanah air.
Rasa haus yang tinggi akan ilmu pengetahuan
membawa Hasyim Asy’ari berangkat lagi ke tanah suci Mekkah tahun berikutnya.
Kali ini ia ditemani saudaranya Anis. Dan ia menetap di sana kurang lebih tujuh
tahun dan berguru pada sejumlah ulama, di antaranya Syaikh Ahmad Amin al
Aththar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Abdullah al Zawawi, Syaikh Shaleh
Bafadhal dan Syaikh Sultan Hasyim Dagastani.[8]
Minatnya begitu tinggi terhadap ilmu
pengetahuan, terutama ilmu hadits dan tasawuf. Hal ini yang membuat Hasyim di
kemudian hari senang mengajarkan hadits dan tasawuf. Pada masa-masa akhir di
Mekkah beliau sempat memberikan pengajaran kepada orang lain yang memerlukan
bimbingannya, dan ini yang menjadi bekal tersendri yang kemudian hari
diteruskan setelah kembali ke tanah air.
Pada tahun 1899/1900 ia kembali ke Indonesia
dan mengajar di pesantren ayahnya dan kakeknya, hingga berlangsung beberapa
waktu. Masa berikutnya Hasyim menikah lagi dengan putri kiai Ramli dari
Kemuning (Kediri) yang bernama Nafiah, setelah sekian lama menduda. Mulai itu
beliau diminta membantu mengajar di pesantren mertuanya di Kemuning, baru
kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah sekitar Cukir, pesantren
Tebuireng di Jombang, pada tanggal 6 Pebruari 1906. Pesantren yang baru
didirikan tersebut tidak berapa lama berkembang menjadi pesantren yang terkenal
di Nusantara, dan menjadi tempat menggodok kader-kader ulama wilayah Jawa dan
sekitarnya.
Sejak masih di pondok, ia telah dipercaya
untuk membimbing dan mengajar santri baru. Ketika di Mekkah, ia juga sempat
mengajar. Demikian pula ketika kembali ke tanah air, diabdikannya seluruh
hidupnya untuk agama dan ilmu. Kehidupannya banyak tersita untuk para
santrinya. Ia terkenal dengan disiplin waktu (istiqamah).
Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7
Ramadhan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947 M di Tebuireng Jombang dalam
usia 79 tahun, karena tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah beliau
mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo bahwa pasukan Belanda di
bawah pimpinan Jenderal Spoor telah kembali ke Indonesia dan menang dalam
pertempuran di Singosari (Malang) dengan meminta banyak korban dari rakyat
biasa. Beliau sangat terkejut dengan peristiwa itu, sehingga terkena serangan
stroke yang menyebabkan kematiannya.[9]
2) Karya K.H. Muhammd
Hasyim Asy'ari
Tidak banyak para ulama dari kalangan
tradisional yang menulis buku. Akan tetapi tidak demikian dengan Hasyim
Asy’ari, tidak kurang dari sepuluh kitab disusunnya, antara lain:[10]
a. Adab al Alim wa al
Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al
Mu’allim fi Maqamat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi
tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab
al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim
al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591
H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim
karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats
al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama,
seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram,
bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil
Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil
Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.
b. Ziyadat Ta’liqat,
Radda fiha Mandhumat al Syaikh “Abd Allah bin Yasin al Fasurani Allati
Bihujubiha “ala Ahl Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Catatan seputar
nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim
dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa
Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel
Oelama’. Tebal 144 halaman.
c. Al Tanbihat al Wajibat
liman Yashna al Maulid al Munkarat Peringatan-peringatan wajib bagi
penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis
berdasarkan kejadian yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal
1355 H., saat para santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi
yang diiringi dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan
perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman
pertama terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai
ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman,
dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415
H.
d. Al Risalat al Jamiat,
Sharh fiha Ahmaal al Mauta wa Asirath al sa’at ma’bayan Mafhum al Sunnah wa al
Bid’ah.
. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian,
tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah. Berisi 9 pasal.
e. Al Nur al Mubin fi
Mahabbah Sayyid al Mursalin, bain fihi Ma’na al Mahabbah Libasul Allah wa ma
Yata’allaq biha Man Ittiba’iha wa Ihya al Sunnahih. Cahaya yang jelas
menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang
muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW.
Tebal 87 halaman, memuat biografi singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat,
dan menjelaskan mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai
ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.
f. Hasyiyah ‘ala Fath al
Rahman bi Syarth Risalat al Wali Ruslan li Syaikh al Islam Zakaria al Ansyari.
g. Al Duur al Muntasirah
fi Masail al Tiss’I Asyrat, Sharth fiha Masalat al Thariqah wa al Wilayah wa ma
Yata’allq bihima min al Umur al Muhimmah li ahl thariqah. Mutiara yang memancar
dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam
bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan
oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh
percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii
halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman 29.
h. Al Tibyan fi al Nahy
‘an Muqathi’ah al Ihwan, bain fih Ahammiyat Shillat al Rahim wa Dhurrar
qatha’iha.
Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi
sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H.,
penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.
i. Al Risalah al
Tauhidiyah, wahiya Risalah Shaghirat fi Bayan ‘Aqidah Ahl Sunnah wa al Jamaah.
j. Al Walaid fi Bayan ma
Yajib min al’Aqaid.
k. Al-Risalah fi
at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat,
syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama
kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
l. Al-Risalah fi
al-’Aqaid.
Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah
an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa
al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai Hasyim
lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta dua kitab lainnya karya
seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh syeikh Fahmi Ja’far
al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai ditash-hih pada hari
Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat
beberapa naskah manuskrip karya KH. Muhammad Hasyim Asy'ari yang hingga kini
belum diterbitkan. Yaitu:
1. Al-Risalah al-Jama’ah
2. Tamyiz al-Haqq min
al-Bathil
3. al-Jasus fi Ahkam
al-Nuqus
4. Manasik Shughra
Di samping bergerak dalam dunia pendidikan,
Hasyim Asy’ari menjadi perintis dan pendiri organisasi kemasyarakatan NU (Nahdhatul
Ulama), sekaligus sebagai Rais Akbar. Pada bagian lain, ia juga bersikap
konfrontatif terhadap penjajah Belanda. Ia, misalnya menolak menerima
penghargaan dari pemerintah Belanda. Bahkan pada saat revolusi fisik, ia
menyerukan jihad melawan penjajah dan menolak bekerja sama dengannya. Sementara
pada masa penjajahan Jepang, ia sempat ditahan dan diasingkan ke Mojokerta.[11]
3) Pemikiran Hasyim
Asy’ari Dalam Bidang Pendidikan
Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan
dalam lingkungan pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara
langsung di dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua
yang dialami dan dirasakan beliau selama itu menjadi pengalaman dan
mempengaruhi pola pikir dan pandangannya dalam masalah-masalah pendidikan.
Salah satu karya monumental Hasyim Asy’ari
yang berbicara tentang pendidikan adalah kitabnya yang berjudul Adab al Alim
wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama Yataqaff
al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih, namun dalam penulisan ini kami tidak
menemukakan kitab aslinya dan akhirnya banyak mengambil dari tulisan Samsul
Nizar dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, dan buku-buku yang lain sebagai
penunjang.
Pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih
beliau tekankan pada masalah etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan
beberapa aspek pendidikan lainnya. Di antara pemikiran beliau dalam masalah
pendidikan adalah:
a) Signifikansi Pendidikan
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu
pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki
menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua
hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid
hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk
hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru
dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak
mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di
atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf),
yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut
beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan
ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk
mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar
menghilangkan kebodohan.[12]
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat
manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan
hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan
norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam
harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan
sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
b) Tugas dan Tanggung Jawab Murid
1. Etika yang harus
diperhatikan dalam belajar
o Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan
o Membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar
dan qanaah
o Pandai mengatur waktu
o Menyederhanakan makan dan minum
o Berhati-hati (wara’)
o Menghindari kemalasan
o Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
Dalam hal ini terlihat, bahwa Hasyim Asy’ari
lebih menekankan kepada pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski demikian
pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur makan,
minum, tidur dan sebagainya. Makan dan minum tidak perlu terlalu banyak dan
sederhana, seperti anjuran Rasulullah Muhammad saw. Serta jangan banyak tidur,
dan jangan suka bermalas-malasan. Banyakkan waktu untuk belajar dan menuntut
ilmu pengetahuan, isi hari-hari dan waktu yang ada dengan hal-hal yang
bermanfaat.
2. Etika seorang murid
terhadap guru
o Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan guru
o Memilih guru yang wara’
o Mengikuti jejak guru
o Memuliakan dan memperhatikan hak guru
o Bersabar terdapat kekerasan guru
o Berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu
o Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru
o Berbicara dengan sopan dan lembut dengan guru
o Dengarkan segala fatwa guru dan jangan menyela pembicaraannya
Etika seperti tersebut di atas, masih banyak
dijumpai pada pendidikan pesantren sekarang ini, akan tetapi etika seperti itu
sangat langka di tengah budaya kosmopolit. Di tengah-tengah pergaulan sekarang,
guru dipandang sebagai teman biasa oleh murid-murid, dan tidak malu-malu mereka
berbicara lebih nyaring dari gurunya. Terlihat pula pemikiran yang ditawarkan
oleh Hasyim Asy’ari lebih maju. Hal ini, misalnya terlihat dalam memilih guru
hendaknya yang profesional, memperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.
3. Etika murid terhadap
pelajaran
o Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain
o Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
o Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang
dipercaya
o Senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu
o Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan
o Pancangkan cita-cita yang tinggi
o Kemanapun pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa catatan
o Pelajari pelajaran yang telah dipelajari dengan continue
(istiqamah)
Penjelasan tersebut di atas seakan
memperlihatkan akan sistem pendidikan di pesantren yang selama ini terlihat
kolot, hanya terjadi komunikasi satu arah, guru satu-satunya sumber pengajaran,
dan murid hanya sebagai obyek yang hanya berhak duduk, dengar, catat dan hafal
(DDCH) apa yang dikatakan guru. Namun pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim
Asy’ari lebih terbuka, inovatif dan progresif. Beliau memberikan kesempatan
para santri untuk mengambil dan mengikuti pendapat para ulama, tapi harus
hati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama.
Hal tersebut senada dengan pemikiran beliau
tentang masalah fiqh, beliau meminta umat Islam untuk berhati-hati pada mereka
yang mengklaim mampu menjalankan ijtihad, yaitu kaum modernis, yang
mengemukakan pendapat mereka tanpa memiliki persayaratan yang cukup untuk
berijtihad itu hanya berdasarkan pertimbangan pikiran semata. Beliau percaya
taqlid itu diperbolehkan bagi sebagian umat Islam, dan tidak boleh hanya
ditujukan pada mereka yang mampu melakukan ijtihad.[16]
c) Tugas Dan Tanggung
Jawab Guru
1. Etika seorang guru
o Senantiasa mendekatkan diri pada Allah
o Takut pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusu’
o Bersikap tenang dan senantiasa berhati-hati
o Mengadukan segala persoalan pada Allah
o Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih dunia
o Tidak selalu memanjakan anak
o Menghindari tempat-tempat yang kotor dan maksiat
o Mengamalkan sunnah Nabi
o Mengistiqamahkan membaca al- Qur’an
o Bersikap ramah, ceria dan suka menabur salam
o Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu
Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan
dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari
adalah etika atau statement yang terakhir, dimana guru harus membiasakan diri
menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan
hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan
beliau.
Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari
dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan
pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman
sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen
di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.
2. Etika guru dalam
mengajar
o Jangan mengajarkan hal-hal yang syubhat
o Mensucikan diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian
o Berniat beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a
o Biasakan membaca untuk menambah ilmu
o Menjauhkan diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa
o Jangan sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau
marah
o Usahakan tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong
o Mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuai dengan
profesional yang dimiliki
o Menasihati dan menegur dengan baik jika anak didik bandel
o Bersikap terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan
o Memberikan kesempatan pada anak didik yang datangnya terlambat
dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang dimaksudkan
Terlihat bahwa apa yang ditawarkan Hasyim Asy’ari
lebih bersifat pragmatis, artinya, apa yang ditawarkan beliau berangkat dari
praktik yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai tambah dalam
konsep yang dikemukakan oleh Bapak santri ini.
Terlihat juga betapa beliau sangat memperhatikan
sifat dan sikap serta penampilan seorang guru. Berpenampilan yang terpuji,
bukan saja dengan keramahantamahan, tetapi juga dengan berpakaian yang rapi dan
memakai minyak wangi.
Agaknya pemikiran Hasyim Asy’ari juga sangat
maju dibandingkan zamannya, ia menawarkan agar guru bersikap terbuka, dan
memandang murid sebagai subyek pengajaran bukan hanya sebagai obyek, dengan
memberi kesempatan kepada murid-murid bertanya dan menyampaikan berbagai
persoalan di hadapan guru.
3. Etika guru bersama
murid
o Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu
o Menghindari ketidak ikhlasan
o Mempergunakan metode yang mudah dipahami anak
o Memperhatikan kemampuan anak didik
o Tidak memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang
lain
o Bersikap terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu’
o Membantu memecahkan masalah-masalah anak didik
Kalau sebelumnya terlihat warna tasawufnya,
khususnya ketika membahas tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik.
Namun kali ini gagasan-gagasan yang dilontarkan beliau berkaitan dengan etika
guru bersama murid menunjukkan keprofesionalnya dalam pendidikan. Hal ini dapat
dilihat dari rangkuman gagasan yang dilontarkannya tentang kompetensi seorang
pendidik, yang utamanya kompetensi profesional.
Hasyim Asy’ari sangat menganjurkan agar
seorang pendidik atau guru perlu memiliki kemampuan dalam mengembangkan metode
dan memberi motivasi serta latihan-latihan yang bersifat membantu
murid-muridnya memahami pelajaran. Selain itu, guru juga harus memahami
murid-muridnya secara psikologi, mampu memahami muridnya secara individual dan
memecahkan persoalan yang dihadapi murid, mengarahkan murid pada minat yang
lebih dicendrungi, serta guru harus bersikap arif.
Jelas pada saat Hasyim Asy’ari melontarkan
pemikiran ini, ilmu pendidikan maupun ilmu psikologi pendidikan yang sekarang
beredar dan dikaji secara luas belum tersebar, apalagi di kalangan pesantren.
Sehingga ke-genuin-an pemikiran beliau patut untuk dikembangkan selaras dengan
kemajuan dunia pendidikan.
d) Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan
Hal-hal Lain Yang Berkaitan Dengannya
Satu hal yang menarik dan terlihat beda dengan
materi-materi yang biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan umumnya, adalah
etika terhadap buku dan alat-alat pendidikan. Kalaupun ada etika untuk itu,
namun biasanya hanya bersifat kasuistik dan seringkali tidak tertulis, dan seringkali
juga hanya dianggap sebagai aturan yang umum berlaku dan cukup diketahui oleh
masing-masing individu. Akan tetapi bagi Hasyim Asy’ari memandang bahwa etika
tersebut penting dan perlu diperhatikan.
Di antara etika tersebut adalah:
o Menganjurkan untuk mengusahakan agar memiliki buku
o Merelakan dan mengijinkan bila ada kawan meminjam buku
pelajaran, sebaliknya bagi peminjam menjaga barang pinjamannya
o Memeriksa dahulu bila membeli dan meminjamnya
o Bila menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dan mengawalinya
dengan basmalah, sedangkan bila ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah
dengan hamdalah dan shalawat Nabi.[20]
Kembali tampak kejelian dan ketelitian beliau
dalam melihat permasalahan dan seluk beluk proses belajar mengajar. Etika
khusus yang diterapkan untuk mengawali suatu proses belajar adalah etika
terhadap buku yang dijadikan sumber rujukan, apalagi kitab-kitab yang digunakan
adalah kitab “kuning” yang mempunyai keistimewaan atau kelebihan tersendiri.
Agaknya beliau memakai dasar epistemologis, ilmu adalah Nur Allah, maka bila
hendak mempelajarinya orang harus beretika, bersih dan sucikan jiwa. Dengan
demikian ilmu yang dipelajari diharapkan bermanfaat dan membawa berkah.
Pemikiran seperti yang dituangkan oleh Hasyim
Asy’ari itu patut untuk menjadi perhatian pada masa sekarang ini, apakah itu
kitab “kuning” atau tidak, misalnya kitab “kuning” yang sudah diterjemahkan,
atau buku-buku sekarang yang dianggap sebagai barang biasa, kaprah dan ada di
mana-mana. Namun untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat dalam belajar etika
semacam di atas perlu diterapkan dan mendapat perhatian.
Demikian sebagian dari pemikiran mengenai
pendidikan yang dikemukan oleh Hasyim Asy’ari. Kelihatannya pemikiran tentang
pendidikan ini sejalan dengan apa yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Imam
Ghazali, misalnya saja, Hasyim Asy’ari mengemukakan bahwa tujuan utama
pendidikan itu adalah mengamalkannya, dengan maksud agar ilmu yang dimiliki
menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Imam
Ghazali juga mengemukakan bahwa pendidikan pada prosesnya haruslah mengacu
kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani. Oleh karena itu
tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah “Tercapainya kemampuan insani
yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang
bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat“.[21] Dan senada pula dengan
pendapat Ahmad D. Marimba bahwa, “pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan
secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si
terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[22]
Begitu juga pemikiran Hasyim Asy’ari mengenai
niat orang orang yang menuntut ilmu dan yang mengajarkan ilmu, yaitu hendaknya
meluruskan niatnya lebih dahulu, tidak meng-harapkan hal-hal duniawi semata,
tapi harus niat ibadah untuk mencari ridha Allah. Demikian juga dengan al
Ghazali yang berpendapat bahwa tujuan murid menuntut ilmu adalah mendekatkan
diri kepada Allah dan mensucikan batinnya serta memperindah dengan sifat-sifat
yang utama. Dan janganlah menjadikan ilmu sebagai alat untuk mengumpulkan harta
kekayaan, atau untuk mendapatkan kelezatan hidup dan lain sebagainya. Akan
tetapi tujuan utama adalah untuk kebahagiaan akhirat. Dan mengenai guru
al-Ghazali lebih keras, bahwa guru mengajar tidak boleh digaji.[23]
Mengenai etika seorang murid yang dikemukakan
Hasyim Asy’ari sejalan dengan pendapat al-Ghazali yang mengatakan “hendaknya
murid mendahulukan kesucian batin dan kerendahan budi dari sifat-sifat tercela,
seperti marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati, takabur, ujub dan sebagainya”.[24]
C. KESIMPULAN
K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari dilahirkan dari
keturunan eliet kiai (pesantren) pada tanggal 24 Zulhijjah 1287H bertepatan 14
Pebruari 1871M, tepatnya sebelah Timur Jombang Jawa Timur. Suasana kehidupan
pesantren sangat mem-pengaruhi pembentukan karakter Hasyim Asy’ari yang
sederhana dan rajin belajar, belajar dari pesantren ke pesantren di Jawa sampai
ke Tanah Hijaz.
Sebagai pendidik merupakan bagian yang yang
terpisahkan dari perjalanan hidupnya sejak usia muda. Setelah mengajar keliling
dari pesantren orangtua hingga mertua, pada tahun 1899 Hasyim Asy’ari
mendirikan pesantren sendiri, mewujudkan cita-citanya di daerah Tebuireng
Jombang, Jawa Timur.
Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan
lebih menekankan pada etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa
aspek pendidikan lainnya. Dalam hal ini banyak dipengaruh dengan keahliannya
pada bidang Hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan fiqih yang
sejalan dengan teologi al Asy’ari dan al Maturidi. Juga searah dengan pemikiran
al-Ghazali, yang lebih menekankan pada pendidikan rohani. Misalnya belajar dan
mengajar harus dengan ikhlas, semata-mata karena Allah, bukan hanya untuk
kepentingan dunia tetapi juga untuk kebahagian di akhirat. Dan untuk
mencapainya seseorang yang belajar atau mengajar harus punya etika, punya adab
dan moral, baik murid ataupun guru sendiri.
K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari memandang
pendidik sebagai pihak yang sangat penting dalam pendidikan. Baginya, guru
adalah sosok yang mampu mentransmisikan ilmu pengetahuan disamping pembentuk
sikap dan etika peserta didik.[25]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif, 1989).
Al- Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I,
(Singapure: Sulaiman Mar’ie, t.th.)
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat
Pendididkan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1979).
Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, (Jakarta,
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997).
Fathiyah Hasan Sulaiman, Mazahib fi at
Tarbiyah Bahtsun fi al Mazahibi at Tarbiyah ‘ind al Ghazali. Alih bahasa
Said Agil Husin al Munawar dan Hadri Hasan, (Semarang: Toha Putra, 1975).
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan
dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007)
Khairul Fathoni, Muhammad Zen, NU Pasca
Khittah, Porspek Ukhuwah Dengan Muhammadiyah, (Yogyakarta: Media Widya
Mandala, 1992).
Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama,
Biografi K.H.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS, 2000).
Maksum Machfoedz, Kebangkitan Ulama dan
Bangkitnya Ulama, (Surabaya: Yayasan Kesatuan Umat, 1982).
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002).
Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan
Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004)
Pradjata Dirdjosanjoto, Memelihara Umat,
Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, (Yogyakarta: UKIS, 1999).
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES,
1982).
[1] Dewan
Redaksi, Ensiklopedia Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997). h. 309
[2] Zamakhsyari
Dhotier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), h.85-88.
[3] Khoirul
Fathoni & Muhamad Zen, NU Pasca Khittah, (Yogyakarta: Media Widia
Mandala, 1992),h.25
[4] Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, Juz I, (Singapura: Sulaiman Mar’ie, t.th.), h.45-50.
[5] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002,) h.152.
[6]
Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari,
(Yogyakarta: LKIS, 2000), h.14.
[7] Ibid, h.16.
[8] Ibid. h.18.
[10] Suwendi, Sejarah
& Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), h. 141
[11] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…., h.54.
[12] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…., h.155-157.
[13] Ibid.,
h.158.
[14] Ibid,
h.159.
[15] Ibid.,
h.161.
[17] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…., 162.
[18] Ibid., h.
163-165.
[19] Ibid.,
h.165-166.
[20] Ibid.,
h.167-168.
[21] Fathiyah
Hasan Sulaiman, Mazahib fi at Tarbiyah Bahtsun fi al Mazahibi at Tarbiyah
‘ind al Ghazali. Alih bahasa Said Agil Husin al Munawar dan Hadri Hasan,
(Semarang: Toha Putra, 1975), h.18.
[22] Ahmad D.
Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif,
1989), h.19.
[23] Asma Hasan
Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendididkan Islam, (Bandung: Bulan Bintang,
1979), h.167.
[24] Pradjata
Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa,
(Yogyakarta: UKIS, 1999). h.135.
[25] Suwendi, Sejarah
& Pemikiran…., h. 155
http://mydream-bagas.blogspot.com/2012/06/pemikiran-pendidikan-islam-kh-hasyim.html?zx=8e35f84717048ec
0 komentar:
Posting Komentar