MENGENAL
PENDIDIKAN NAHDHATUL ULAMA
MENGENAL PENDIDIKAN NAHDHATUL ULAMA
Abstrak:
Tulisan ini
bertujuan untuk mengeksplorasi secara sederhana tentang kondisi pendidikan di
bawah naungan NU mulai dari sejak berdirinya sampai dengan pertumbuhan dan
perkembangan serta problem-problem yang melingkupi dan kemungkinan solusinya.
Dalam sejarahnya, keberadaan organisasi NU memang tidak lepas dari sejarah
pendidikan nusantara di negeri ini. Terdapat visi dan misi khusus yang diusung
oleh NU dalam pendirian organisasinya dan beragam lembaga yang ada di bawah
naungannya. Visi tersebut adalah ajaran Aswaja dan misinya adalah pemberdayaan
umat. Pengejawantahan visi dan misi tersebut dilakukan melalui media
pendidikan, dakwah dan beragam aktualisasi diri lain dengan sarana
lembaga-lembaga yang tersedia. Dalam hal pendidikan, sementara ini NU tidak
tertandingi dari aspek kuantitas. Sementara dari aspek kualitas, pendidikan NU
masih tertantang untuk terus ditingkatkan keberadaannya. Dalam perjalanannya,
pendidikan NU memang tidak steril dari beragam masalah. Salah satu masalah yang
masih melekat adalah mengenai SDM para pendidiknya. Oleh karenanya, peningkatan
kualitas SDM melalui beragam jalan, misalnya, pelatihan, rekomendasi sekolah,
dan sejenisnya, perlu dilakukan oleh NU dan berbagai lembaga yang ada di bawah
naungannya.
Pendahuluan
Mengenal
Nahdhatul Ulama (baca: NU) dalam konteks pendidikan merupakan hal yang menarik.
Ini karena sebuah kesadaran bahwa NU menaungi beragam jenis pendidikan dari
tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Kuantitas pendidikan di bawah naungan NU
(Ma'arif) tidak terbantahkan banyaknya. Meski demikian, dalam hal kualitas,
keberadaan pendidikan di bawah naungan NU tetap harus diperjuangkan untuk
ditingkatkan.
Banyaknya
lembaga pendidikan di bawah naungan NU berbanding lurus dengan jumlah umat NU
yang mayoritas di negeri ini. Hal itu yang kemudian menuntut disediakannya
lembaga-lembaga pendidikan yang dapat dijadikan media belajar dan pengembangan
bagi umat NU. NU perlu mengkoordinasi lembaga-lembaga pendidikan yang ada di
bawah naungannya, mengingat ada ciri khusus yang harus ada dalam materi pelajaran
di lembaga pendidikan NU, yaitu materi Aswaja (Ahlus Sunnah wal-Jama'ah).
Materi ini tidak mesti diberikan di lembaga pendidikan di luar naungan NU.
Lebih
lanjut, artikel ini akan mengulas eksistensi pendidikan NU mulai dari sejak
berdirinya sampai dengan pertumbuhan dan perkembangannya serta beragam problem
yang melingkupi dan kemungkinan solusinya. Bagaimanapun tulisan ini hanya
secercah kata untuk melukiskan keberadaan pendidikan NU secara sekilas. Untuk
melihat dan mengenal serta memahami pendidikan NU yang sebenarnya haruslah
melalui observasi dan kajian serta eksplorasi yang lebih mendalam melalui
beragam metode dan sumber yang tersedia.
Sejarah Pendidikan Nahdhatul Ulama
Sejarah
pergerakan NU sebenarnya adalah sejarah pendidikan nusantara. Pohon organisasi
NU sangat rimbun oleh lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren, majelis
taklim, diniyyah, madrasah/ sekolah dan perguruan tinggi. Dalam hal pendidikan,
NU merupakan salah satu lokomotif pembaharuan pendidikan. Setahun setelah
berdirinya, persisnya pada Muktamar NU ke-2 (1927), Muktamirin mengagendakan
penggalangan dana secara nasional untuk mendirikan dan membangun madrasah dan
sekolah. Pada Muktamar NU ke-3 (1928), elite NU memprakarsai gerakan peduli
pendidikan dengan mengajak para Muktamirin untuk mengunjungi
pesantren-pesantren besar seperti Tambak Beras yang dipimpin KH. Wahab
Chasbullah, Denanyar yang dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri, dan Nganjuk yang
dipimpin oleh K. Pathudin Seror Putih.
Pada
Muktamar NU ke-4 (1929), panitia Muktamar merespon kecenderungan naiknya
kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendorong para Muktamirin sepakat untuk
membentuk wadah khusus yang menangani bidang pendidikan yang bernama Hoof
Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) yang diketuai oleh Ustadz Abdullah Ubaid, waktu
itu disebut presiden. Pada perkembangan selanjutnya, terbentuklah Lembaga
Pendidikan Maâ?Tarif NU (LPMNU) pada Muktamar NU ke-20 (1959) di Jakarta.
Dari arena
Muktamar ke Muktamar, hingga Muktamar NU ke-30 (1999) di Kediri, Lirboyo, Jawa
Timur, NU tetap menjadikan sektor pendidikan sebagai mainstream (pemikiran
utama). Munas dan Konbes NU tanggal 25-28 Juli 2002 di Pondok Gede Jakarta
menghasilkan â?oTaushiyah Pondok Gede Tahun 2002â? yang mencoba mempertegas
kembali posisi bidang pendidikan untuk menjadi prioritas program NU. Untuk
menafsirkan lebih rinci, tak lama setelah itu, tepatnya tanggal 22-25 Agustus
2002 di Kawasan Puncak Batu Malang Jawa Timur, diselenggarakan Rapat Kerja
LPMNU dan Musyawarah Kerja Perguruan Tinggi NU. Di forum tersebut, NU kembali
mematangkan format, strategi dan guidlines (garis panduan) pengembangan
pendidikan di lingkungan NU.
Keberadaan
pendidikan di wilayah NU berawal dari keberadaan pesantren. Para kiai
pesantren, dahulu kala, ketika pulang dari Timur Tengah ke Indonesia, sebagian
besar mendirikan pesantren sebagai institusi pendidikan. Oleh karena pendidikan
pesantren, maka keilmuan yang diutamakan adalah keagamaan, khususnya
fiqih-hukum-yurisprudensi; dan karena kitab fiqih itu kebanyakan berbahasa
Arab, maka untuk memahaminya diperlukan ilmu alat berupa nahwuâ?"sharaf,
jadi pesantren mesti memiliki perangkat keilmuan nahwu-sharaf.
Pada
perkembangan selanjutnya, kira-kira setelah kemerdekaan, terjadi pengembangan
model pendidikan di pesantren. Hal ini berawal dari realitas bahwa tidak semua
santri yang keluar dari pesantren itu mampu menjadi kiai, sementara mereka
tetap membutuhkan ranah pendidikan, akhirnya mereka mendirikan sekolah-sekolah
di kampung yang bernama madrasah. Jadi madrasah itu sebenarnya keberlanjutan
dari pesantren. Di madrasah, materi keilmuan yang diajarkan â?"pada
awalnya- adalah sama dengan yang ada di pesantren, bedanya kiai tidak berada
dalam lingkup madarasah, tidak seperti pesantren yang memiliki ciri-ciri; ada
santri, kitab kuning, kiai, pondokan, dan masjid.
Dalam
konteks pendidikan NU, sistem pendidikan pesantren yang telah lama melembaga
bagi masyarakat Islam nusantara tidak bisa dilupakan. Keberadaan NU hingga saat
ini selalu ditopang oleh pesantren. Dari pesantren basis kekuatan NU dibangun
dengan banyak melahirkan para ulama dan kiai, yang kemudian membentuk
jamâ?Tiyah NU dan berjuang di dalamnya.
Pondok
pesantren di Indonesia memang tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat.
Berdasarkan laporan pemerintah kolonial Belanda pada 1831, di Jawa terdapat
tidak kurang dari 1.853 buah pesantren dengan jumlah santri tidak kurang dari
16.500 orang. Suatu survey yang diselenggarakan kantor Shumubu (Kantor Urusan
Agama) pada masa Jepang pada 1942, jumlah pesantren bertambah menjadi 1.871 buah,
jumlah tersebut belum ditambah dengan pesantren di luar Jawa dan
pesantren-pesantren kecil. Pada masa kemerdekaan jumlah pesantren terus
bertambah. Berdasarkan laporan Departemen Agama RI pada 2001, jumlah pesantren
di Indonesia mencapai 12.817 buah.
Pertumbuhan
dan perkembangan pesantren terhambat ketika bangsa Eropa datang ke Indonesia
untuk menjajah. Hal ini terjadi karena pesantren bersikap non kooperatif bahkan
mengadakan konfrontasi terhadap penjajah. Akibat dari sikap tersebut, maka
pemerintah kolonial ketika itu mengadakan kontrol dan pengawasan yang ketat
terhadap pesantren. Setelah Indonesia merdeka, pesantren tumbuh dan berkembang
dengan pesat. Ekspansi pesantren juga bisa dilihat dari pertumbuhan pesantren
yang semula hanya rural based institusion, kemudian berkembang menjadi
pendidikan urban; karena pesantren tumbuh juga di kota-kota besar.
Beberapa
pihak memahami bahwa dunia pesantren adalah dimensi yang sulit berubah, dan itu
selama ini dianggap sebagai simbol kejumudan (kebekuan) dan kemandegan
(stagnasi). Padahal pesantren memiliki dinamika perkembangan yang dinamis, bisa
berubah, mempunyai dasar yang kuat untuk ikut mengarahkan & menggerakkan
perubahan yang diinginkan, mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Demi
meminimalisasi problem pendidikan pesantren, dibutuhkan keberanian diri untuk
melakukan rekonstruksi dalam artian positif, yakni membangun pesantren
berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, rekonstruksi
sistem pendidikan pesantren bukan berarti merombak seluruh sistem yang ada yang
berakibat hilangnya jati diri pesantren. Rekonstruksi tersebut tidak harus
merubah orientasi atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren sebagai
lembaga â?otafaqqul fiddinâ? dalam pengertian yang luas; juga
tidak perlu mengorbankan nilai-nilai seperti keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah
Islamiyah, kemandirian dan optimisme.
Jadi
keberadaan pendidikan di lingkungan NU â?"sebelum madrasah- adalah
pesantren. Saat ini pendidikan pesantren berada dalam naungan NU, yang
penanganannya dipasrahkan pada Lajnah RMI (Lembaga Rabithah Maâ?Tahid
Islamiyah), sedangkan pendidikan madrasah berada dalam naungan NU, yang
penanganannya diserahkan kepada Lembaga Pendidikan Maâ?Tarif (LPM).
NU adalah
organisasi sosial keagamaan yang berusaha mewadahi kegiatan ulama dan umat
Islam Indonesia yang berfaham aswaja untuk melanjutkan dakwah Islamiyah dan
melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar. Tujuannya agar Islam diamalkan menurut
faham aswaja, dengan menganut salah satu mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki,
Syafiâ?Ti dan Hanbali di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai
usaha untuk mencapai tujuan tersebut di atas adalah melalui kegiatan
pendidikan, pengajaran dan pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran
Islam menurut faham aswaja. Seperti dipaparkan di bagian depan, bahwa sebagai
perangkat yang bertanggung jawab menangani pelaksanaan kebijakan di bidang
pendidikan dan pengajaran adalah LP Ma'arif. LP Ma'arif yang memiliki peran
sangat strategis, secara resmi baru berdiri tanggal 21 Syaâ?Tban 1380 H.
bertepatan dengan tanggal 7 februari 1961. Tugas utama LP Ma'arif adalah
membina, mendirikan dan menyelenggarakan sekolah-sekolah / madrasah-madrasah
dari tingkat pendidikan pra sekolah sampai perguruan tinggi, serta pendidikan
non formal, seperti kursus-kursus dan pelatihan keterampilan.
Pada era
70-80-an, pesantren mengikuti kurikulum pemerintah. Terdapat pergeseran cukup
esensial, kalau dulu orang mondok sambil sekolah, tapi sekarang karena di dalam
pesantren ada kurikulum pendidikan pemerintah, maka orang sekolah sambil
mondok. Jadi mondok sekarang bukan menjadi sesuatu yang mayor tetapi minor.
Itulah yang menyebabkan perubahan fenomena kehidupan (khususnya pendidikan)
yang terjadi di lingkungan NU. Pendidikan NU mempunyai dua ciri yang esensial;
1). Alâ?Tiâ?Ttimad alannafsi (berdikari), dan 2). Fil Ijtimaâ?Tiyah
(memasyarakat), artinya dihidupi oleh masyarakat. Madrasah atau pesantren itu
didirikan oleh masyarakat dan dibiayai sendiri oleh masyarakat. Ketika
masyarakat mau belajar atau mau menyekolahkan anaknya di pesantren atau
madrasah, mereka hanya ditunjukkan tempatnya oleh kiai, kemudian mereka
membangun kamar sendiri. Hal itu sekarang bergeser, pesantren atau madrasah
tidak berdikari, mereka juga mencari sumbangan ke pemerintah. Wali santri
sekarang tidak otomatis menyumbang kecuali ada tarikan dari pihak sekolah. Jadi
tidak ada kesukarelaan seperti dulu, kalau wali santri menitipkan anaknya ke
pesantren maka bangunan pesantren menjadi tanggung jawab wali santri.
Untuk
lembaga pendidikan formal (sekolah/ madrasah) di NU, penanganannya telah
diserahkan kepada LP Maâ?Tarif. LP Ma'arif sebagai garda depan yang ikut
menentukan wajah SDM NU, sering tidak terlibat langsung dalam proses
kependidikan Islam di pondok pesantren baik yang formal seperti madrasah/
sekolah maupun non formal seperti pesantren. Semua kegiatan di pondok pesantren
dikelola langsung oleh kiai atau yayasan yang sengaja dibentuk untuk itu.
Posisi LP
Ma'arif terhadap madrasah dan sekolah yang ada di pondok pesantren hanya
sebatas koordinasi, bukan komando. Koordinasi yang dimaksud adalah menyangkut
hal-hal yang tidak prinsip, misalnya ajakan ikut serta mensukseskan pekan olag
raga dan seni (Porseni), bukan dalam soal proses belajar mengajar. Kewenangan
LP Ma'arif pada lembaga kependidikan di pondok pesantren tidak berfungsi sepenuhnya,
bukan terjadi secara kebetulan, tetapi berlatar belakang sosial kultural yang
ada di masyarakat NU.
Bruinessen
menyatakan bahwa NU merupakan organisasi yang sangat terdesentralisasi.
Mengingat warganya suka memiliki rasa kemandirian (kebebasan) yang sangat
tinggi yang diwarisi dari para kiai, yang lepas dari struktur organisasi,
tetapi di sisi lain memiliki pengaruh dan menjadi penyangga moral NU. Dengan
berdasar pada pengaruh yang dimiliki, para kiai sering merasa dapat ikut
mengatur jalannya organisasi, bahkan kadang-kadang dapat mengalahkan
kekuatan-kekuatan lain, termasuk aturan main yang telah disepakati bersama.
Di dalam
masyarakat berkultur NU, baik dalam bentuk organisasinya (jamâ?Tiyah) maupun
kelompok paguyubannya (jamaâ?Tah) terdapat semacam pembagian kelas, yaitu kelas
kiai (ulama) yang berperan sebagai guru dan pendapatnya hampir tidak
terbantahkan dan kelas pengikut. Hubungan antara pengikut dan pimpinan
jamaâ?Tah (kiai) memiliki intimitas yang tinggi, dalam pengertian posisi kiai sebagai
penentu dan pengikut sebagai yang ditentukan. Para fungsionaris LP Ma'arif baik
di tingkat pusat maupun daerah kebanyakan terdiri dari kelas pengikut. Wajar
apabila kemudian banyak kasus tentang kebijaksanaan pendidikan dan pengajaran
dikendalikan tidak hanya oleh Ma'arif, tetapi juga dipengaruhi oleh individu
ulama atau kiai. Pengaruh kiai kadang-kadang tidak sejalan dengan kebijakan
Ma'arif.
Dengan
demikian wajar apabila sekolah/ madrasah di lingkungan NU terkesan seperti
dipimpin oleh empat (4) institusi secara bersamaan, yaitu (1) Ma'arif sebagai
mandataris jamâ?Tiyah NU yang diberi wewenang di bidang pendidikan dan
pengajaran, (2) Syuriyah yang merupakan kelompok ulama yang merasa memiliki
akses untuk mencampuri semua urusan yang menyangkut warga NU, (3) Tanfidziyah
yang berperan sebagai pelaksana harian syuriyah, dan (4) Ulama sebagai
individu, karena merasa sebagai panutan umat.
Dalam
konteks sejarah Indonesia, gerakan ilmiah Islam (pendidikan Islam) banyak
diwarnai oleh politik halus kolonial Belanda, yang telah berhasil menyudutkan
kaum Muslimin ke suatu sudut pandang yang hanya menekankan pada kehidupan
ukhrawi. Akibatnya, dinamisasi keilmuan hanya berkisar pada ulumussyari'ah,
tasawuf, ritual formal ubudiyah dan terpaku ke masa lampau, dengan karya
ilmuwan yang dinilai sakral (bebas kritik). Sementara di bidang lainnya,
mengalami kemandegan dengan latar belakang anggapan bahwa ilmu umum itu
semata-mata urusan duniawi. Dari sinilah muncul dikotomi ulumuddin (ilmu-ilmu
agama) dan ulumuddunya (ilmu-ilmu dunia), antara madrasah dan sekolah, bahkan
antara kitab dan buku.
Komunitas NU
termasuk salah satu kelompok Muslim Indonesia yang terkena pengaruh politik
halus Belanda dalam bidang kependidikan, sehingga tafaqquh fiddin (pemahaman
dalam hal agama) difahami secara sempit dan terbatas pada apa yang dimaksud
dengan ulumuddin, dan secara eksklusif tidak pernah dikorelasikan dengan
pemahaman addin (agama) itu sendiri secara utuh. Akibatnya, dinamika
ilmiah-pendidikan NU cenderung lemah, meski tidak bisa dibilang mandeg.
Pada saat
dinamika ilmiah Islam di Indonesia dicoba digerakkan, yang ditandai dengan
munculnya perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) baik negeri maupun swasta, adanya
proyek Madrasah Wajib Belajar (MWB) yang dilengkapi dengan Ujian Guru Agama
(UAG), kemudian adanya SKB Tiga Menteri, maka di kalangan NU, terutama di
kalangan pesantren yang merupakan basis lembaga pendidikan NU, bermunculan
sistem-sistem madrasi yang sebelumnya tidak begitu tampak.
Potret Pendidikan NU
Pada saat NU
belum diresmikan, organisasi yang dibidani para ulama nahdliyin yang bergerak
di bidang pendidikan diberi nama â?oNahdlatul Wathonâ? NU meyakini bahwa
persatuan dan kesatuan para ulama dan pengikutnya, masalah pendidikan, dakwah
Islamiyah, kegiatan sosial serta perekonomian adalah masalah yang tidak bisa
dipisahkan untuk mengubah masyarakat yang terbelakang, bodoh, dan miskin
menjadi masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlak mulia.
Sekolah NU
didirikan dengan dasar niat yang sederhana. Sarananya juga sangat sederhana,
sehingga kalau dilihat kondisi pendidikan NU itu terkesan apa adanya. Niat yang
sederhana itu kemudian diperbaiki, mengikuti perkembangan pendidikan masa kini;
sehingga NU -dalam hal ini Maâ?Tarif- berusaha sekuat tenaga menata sekolah
yang sudah demikian banyak untuk bisa menjadi lebih baik. Awalnya memang
kebanyakan sekolah Maâ?Tarif itu berdiri atas inisiatif masyarakat, sehingga
penanganannya sederhana dan apa adanya. Memang ada beberapa sekolah yang
inisiatif pendiriannya berasal dari Maâ?Tarif, bahkan ada lembaga internal NU
yang dulu berambisi untuk mengelola sekolah, yakni IPNU cabang, tetapi waktu
itu dipertanyakan, apakah bisa lembaga sekelas IPNU mengurusi sekolah?
Sekolah
NU-Maâ?Tarif didirikan untuk syiâ?Tar Islam. Oleh karena untuka syiâ?Tar, maka
yang penting ramai, dalam artian yang penting sekolahnya berjumlah banyak.
Persoalan kualitas nanti dulu dan â?"pada awalnya- tidak begitu
dipedulikan. Akan tetapi pada perkembangan berikutnya, sekolah NU-Maâ?Tarif
mengikuti kebutuhan sebagaimana keberadaan sekolah pada umumnya. Sekolah pada
umumnya mengembangkan potensi pokok yang harus dimiliki oleh sekolah yang
bersangkutan.
Setelah
pemerintahan orde baru muncul dengan program-programnya, dalam rangka merespon
modernisasi, maka madrasah-madrasah â?"yang awalnya hanya mengajarkan
materi agama sebagaimana di Pesantren- berkembang dengan materi keilmuan umum.
Kurikulum madrasah kemudian mengikuti kurikulum pemerintah, bukan merupakan
pendidikan agama murni. Di madrasah terdapat keilmuan umum, seperti bahasa
Indonesia, ilmu pengetahuan sosial, kewarganegaraan, dan lain sebagainya.
Begitulah awal tumbuh-kembangnya madrasah dan sekarang berkembang sebegitu rupa
hingga menjadi berjenis tingkatan, mulai TK sampai perguruan tinggi. Meski
begitu, ada juga madrasah yang mulai didirikan sampai sekarang hanya memiliki
kelas tingkat ibtidaiyah saja.
Dari
lembaga-lembaga pendidikan NU-Ma'arif yang tersebar di seluruh wilayah
nusantara, hanya di LP Ma'arif Jawa Timur, yang membawahi lebih dari 4000 buah
MI, 190 SD, 470 MTs, 325 SMP, 280 MA, 250 SMA, 15 SMEA, 4 STM, dan 15 buah
Perguruan Tinggi, yang dapat dikatakan berhasil dalam membina dan
mengkoordinasikan lembaga-lembaga itu untuk mencapai suatu prestasi. Pernyataan
tersebut dibuktikan dengan misalnya 250 SMA, yang statusnya disamakan ada 7
buah, 80 % dari 250 buah SMA itu statusnya telah diakui. Di samping itu,
terdapat beberapa Perguruan Tinggi (PT) yang cukup terkenal, seperi UNISMA,
UNSURI, UNDAR Jombang, IKAHA Jombang, Universitas Tri Bakti Kediri, dan
sebagainya.
Secara
kuantitas, pendidikan NU luar biasa besarnya. Dibanding PGRI, NU unggul dari
hal kualitas dan kuantitas. Dibanding Muhammadiyah, sampai taraf SMA, NU unggul
dalam hal kualitas dan kuantitas, tetapi di level Perguruan Tinggi, secara kualitas
NU â?"sementara ini- kalah dengan Muhammadiyah. Dibanding dengan sekolah
Katolik, sementara ini, dalam hal kualitas NU kalah, tetapi dalam hal kuantitas
NU tidak terkalahkan. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa banyak juga
sekolah Katolik yang gulung tikar. Kebanyakan orang sering silau dengan lembaga
pendidikan Muhammadiyah, padahal PW Muhammadiyah (durasi 1987-2002) sering
konsultasi dengan PW Maâ?Tarif Jawa Timur (1987-2002).
Sebagai
lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat sendiri, madrasah
dan sekolah NU memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter masyarakat; diakui
sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat
dan untuk masyarakat. Guru-guru madrasah adalah juga guru-guru masyarakat yang
tingkah lakunya dinilai, diawasi, dan ditiru oleh masyarakat. Madrasah NU juga
merupakan pusat kegiatan masyarakat pada beberapa bidang tertentu, khususnya
pada bidang keagamaan.
Masyarakat
mendirikan sebuah madrasah dengan dilandasi oleh mental al-iâ?Ttimad alannafsi
(percaya pada diri sendiri), tidak menunggu bantuan dari luar. Pada zaman
penjajahan, NU tegas-tegas menolak bantuan pemerintah jajahan bagi madrasah dan
segala bidang kegiatannya. Sikap mental berdiri di atas kaki sendiri seharusnya
dipertahankan dan dikembangkan terus meskipun pada zaman kemerdekaan ini
bantuan dari pemerintah nasional tidak ditolak. Sikap ini merupakan modal besar
bagi NU, bukan saja dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan kelangsungan
hidup madrasah dan sekolah, tetapi juga untuk mempertahankan karakteristik
masyarakat, baik dalam melaksanakan kegiatan maupun menetapkan dan melaksanakan
kurikulum yang sesuai dengan cita-citanya.
Di indonesia
terdapat kelembagaan madrasah yang jumlahnya cukup signifikan/ jumlah Madrasah
Aliyah (MA) sebanyak 3.772 (berstatus Negeri 577 dan swasta 3.195) atau 84,7 %
swasta. Jumlah Madrasah Tsanawiyah (MTs.) sebanyak 10.792 (berstatus Negeri
1.168 dan swasta 9.624) atau 89,2 % swasta. Jumlah MI 22.799 (berstatus negeri
1.482 dan swasta 21.317) atau 93,5 % swasta. Upaya disentralisasi madrasah
sebetulnya lebih difokuskan untuk madrasah-madrasah negeri tersebut, sementara
madrasah swasta sejak awal memang sudah berada di tengah-tengah masyarakat,
beroperasi secara mandiri dan otonom. Artinya, secara umum madrasah telah
meluncur di rel otonomi pendidikan.
Masyarakat
madrasah banyak yang menyampaikan keluhannya, terutama dalam menghadapi akses
otonomi daerah. Berbeda dengan eksistensi sekolah, di beberapa daerah madrasah
memang belum diterima secara bulat oleh daerah. Misalnya dalam hal penyediaan
anggaran pendidikan. Pimpinan Pusat LP NU-Maâ?Tarif telah melayangkan surat
kepada Departemen Agama untuk memberikan masukan kepada pemerintah bahwa
desentralisasi madrasah sudah mendesak diterapkan.
NU-Maâ?Tarif
harus meningkatkan dan mengembangkan madrasah dan sekolahnya menjadi lebih baik
dan lebih baik lagi, merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh agama dan
keharusan sejarah. Penyediaan tenaga, sarana dan fikiran yang lebih besar
adalah mutlak adanya. Akan tetapi, di dalam peningkatan semangat dan kesibukan
meningkatkan diri itu, tidak boleh diabaikan pemeliharaan sikap mental
iâ?Ttimad alannafsi. Dalam berlomba dengan zaman, tidak boleh terjadi erosi
(kelongsoran) karakter NU-Maâ?Tarif dengan madrasah dan sekolahnya.
Mulai dari
pembenahan madrasah dan sekolah inilah kiranya pendidikan yang diselenggarakan
NU-Maâ?Tarif dapat diharapkan fungsi dan peranannya dalam upaya peningkatan SDM
Indonesia yang berkualitas, memiliki kompetensi, memiliki relevansi mutu (bagi
pembangunan dan wilayah global) serta berdaya saing (kompetitif). Lebih dari
itu, output pendidikan NU-Maâ?Tarif yang bermutu tentu saja akan berpengaruh
secara luas pada terciptanya good governance, civil society, dan unit-unit
keluarga yang kuat, sehingga NU, bangsa dan negara menjadi lebih baik lagi.
Untuk itulah, NU turut berpartisipasi dalam beberapa program pemerintah di
bidang pendidikan.
Problematika Pendidikan NU
Stigma
buruk, kumuh, tidak dikelola dengan baik dari masyarakat terhadap lembaga
pendidikan yang dikelola oleh NU-Maâ?Tarif kadangkali masih terjadi, bahkan
madrasah dituduh sebagai tempat pelatihan teroris. Padahal cita-cita
NU-Maâ?Tarif adalah mengelola madrasah sebagai pusat keunggulan; misalnya,
dalam hal mental-spiritual atau perilaku yang baik. Madrasah juga diharapkan
dapat berperan dalam memobilisasi gerakan publik, menghasilkan lulusan yang
bersikap toleran, dan lain sejenisnya, inilah harapan NU-Maâ?Tarif untuk
menjadikan madrasah sebagai sekolah unggulan.
Menurut Wary
Zen, yang menjadi masalah klasik di dalam lembaga pendidikan NU-Maâ?Tarif
adalah persoalan manajemen, koordinasi, pengembangan kreativitas, dan
penciptaan inovasi. NU itu miskin inovasi, maka yang dapat dilakukan
NU-Maâ?Tarif adalah melakukan pengembangan SDM di kalangan NU-Maâ?Tarif
sendiri; baik pengurusnya, kepala sekolahnya, guru-gurunya; misal, disekolahkan
oleh NU.
Sementara
itu hal yang belum dilakukan adalah dukungan dari NU sendiri, yang sebetulnya
punya peran penting. Terutama dari para daâ?Ti di NU. Kenapa daâ?Ti? Oleh
karena NU itu tradisional, selama ini mereka memahami bahwa mencari pahala itu
hanya melalui pengajian dari para daâ?Ti. Kesadaran mereka untuk mengais pahala
besar melalui proses pendidikan kurang begitu tampak. Ini sebenarnya peran
daâ?Ti untuk memberikan penyadaran bahwa mencari pahala lewat pendidikan itu
juga dianjurkan.
Masyarakat
NU kalau mau mengerluarkan uang untuk kiai itu luar biasa, tetapi jika
mengeluarkan uang untuk laboratorium, perpustakaan, mereka kurang tergugah. Ini
â?"antara lain- menjadi tugas kiai untuk memberikan penyadaran bahwa
jariyah (amal yang mengalir) lewat pendidikan itu juga amat besar pahalanya.
Ini penting karena selama ini dana umat sering tersalur hanya untuk kepentingan
â?"misalnya- masjid, padahal masjidnya sudah banyak yang bagus. Jadi untuk
lebih memproporsionalkan amal sebenarnya perlu disebarkan ke bidang-bidang yang
selama ini belum banyak tergarap.
Dalam
persoalan keilmuan, pendidikan NU-Maâ?Tarif yang memang lebih menekankan
keilmuan keagamaan, sering terjebak dalam persoalan dikotomisme keilmuan (agama
dan umum); seolah yang lebih penting adalah keilmuan agama dan keilmuan umum
dianggap tidak penting, karena tidak dipertanyakan di hari Khisab (perhitungan)
nanti. Menurut Aceng Abdul Azis, Jika ditelusuri ke belakang, paradigma
â?odikotomi Pendidikanâ? semakin menonjol karena
terlembaganya format struktural birokrasi Pendidikan Nasional (Diknas) dan
Pendidikan Agama (Depag), ini akhirnya berpengaruh pada terpeliharanya persepsi
dan tradisi pendidikan yang dikotomis agama-umum di Indonesia.
Rupanya
fakta itu pula yang berkontribusi besar pada terciptanya setting pendidikan NU
hingga sekarang yang berkonsentrasi pada pendidikan pesantren, diniyyah, majlis
taâ?Tlim, madrasah dan perguruan tinggi agama, seolah-olah mempertegas jati
diri NU sebagai jamâ?Tiyah diniyyah. Padahal dalam tinjauan historis, NU telah
mengkritik keras terhadap faham dualisme ilmu tersebut. KH. Wachid Hasyim
(Almarhum), misalnya, menyatakan bahwa pendidikan Indonesia yang dikotomik
merupakan warisan penjajah Belanda dan sangat berbahaya bagi umat Islam.
Pendidikan
yang dikotomik hanya akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang tak bermoral dan
ulama-ulama yang tak mengenal zamannya. Untuk itulah, secara gigih Wachid
Hasyim menyarankan agar setiap lembaga pendidikan mempunyai strategic planning
yang mencakup tiga hal: (1) Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya, (2)
Menggambarkan cara mencapai tujuan itu, serta (3) Memberikan keyakinan dan
cara, bahwa tujuan yang disusun tersebut dapat tercapai dengan sempurna.
Dalam hal
organisatoris (kelembagaan), di NU secara personal, orang-orangnya baik dan
unggul, tetapi secara organisasi lemah. Ini menunjukkan bahwa tingkat interaksi
sosial dan kerja sama di antara orang NU sendiri itu lemah. Hal ini terlihat
dari misalnya Dewan Syura NU â?"Sahal Machfudz- PW NU Jatim â?"Ali
Maschan- Said Agil Siraj, semuanya doktor bahkan ada yang guru besar, tetapi
koordinasi mereka dalam membangun interaksi sosial demi mencapai program
bersama tampak lemah, yang kelihatan adalah jalan sendiri-sendiri. Hal ini
berbeda dengan Muhammadiyah yang kuat organisasinya. NU itu seperti pendekar,
banyak fragmentasi; misal ada kiai khos, kiai organisasi, kiai kultural, dan
lain sebagainya.
Walapun
secara organisatoris dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah lebih maju daripada NU,
karena memang berdirinya Muhammadiyah (1912) lebih dulu daripada NU (1926);
namun secara personal (kualitas SDM) NU tidak ketinggalan bahkan lebih
progresif. Hal ini bisa dilihat dari figur-figur semisal Wachid Hasyim, Gus
Dur, Ulul Abshar Abdallah, dan lain sebagainya. Berdirinya NU yang lebih
kemudian daripada Muhammadiyah bukan berarti NU bersikap reaktif terhadap
Muhammadiyah, namun memang berdirinya NU saat itu merupakan kebutuhan yang
diharapkan mewadahi kepentingan ulama dan umat manusia secara besar.
Kepentingan NU saat itu adalah koordinasi umat Islam dalam rangka menghalau
serangan kelompok penyebar bidâ?Tah dan perjuangan mengusir penjajah.
Persoalan
krusial yang juga dialami oleh NU (termasuk pendidikan Maâ?Tarif) adalah
dokumentasi atau pengarsipan surat-surat atau teks-teks yang sebenarnya amat
penting dan berguna bagi lembaga pendidikan NU-Maâ?Tarif sendiri. Oleh karena
lemahnya pengarsipan, maka ketika ada yang membutuhkan dokumentasi
NU-Maâ?Tarif, pihak administrator lembaga kesulitan memenuhinya. Hal ini
sebagaimana dialami penulis ketika mencari data-data penelitian. Di samping
itu, para fungsionaris LPM yang terkadang kurang profesional dan terkesan
asal-asalan dalam menjalankan kebijakannya.
Patronase
kiai (ulama) yang berlebihan di kalangan struktural NU juga menjadi persoalan
tersendiri. Kebijakan-kebijakan organisasi yang sudah tertata rapi dan
disepakati secara bersama, terkadang luntur dan gugur hanya karena somasi kiai
yang bersikap emosional. Di NU, seorang kiai tingkat ranting bisa memisui
penmgurus wilayah. Jadi perlu juga membangun kesadaran di kalangan para kiai
NU. Hal-hal inilah yang menuntut penyelesaian segera dari stakeholders (para
pelaku) di lingkungan NU-Maâ?Tarif sendiri.
Secara umum,
jenis problematika pendidikan yang dialami NU-Maâ?Tarif di Indonesia tidak jauh
berbeda satu dengan yang lain. Persoalan klasok yang rentan dialami, misalnya,
persoalan manajemen, kelembagaan, dokumentasi, profesionalisme, dan sejenisnya.
Meski berbagai problematika dialami oleh LP NU-Maâ?Tarif, namun harus diakui
bahwa dari segi kuantitas LP NU-Maâ?Tarif luar biasa besarnya. Walau begitu,
kelembagaan madrasah di bawah naungan NU-Maâ?Tarif, yang melayani pendidikan
masyarakat secara massif, yang pada umumnya di selenggarakan secara swakelola
memiliki kelemahan-kelemahan yang cukup serius. Kelemahanâ? "kelemahan itu
dapat diselesaikan secara bersama antara pemerintah, madrasah/sekolah, dan
masyarakat.
Kemungkinan Solusi Problem dan
Peningkatan Kualitas Pendidikan NU
Problematika
dan kelemahan LP NU-Maâ?Tarif tentu sudah disadari oleh para stakeholders LP
NU-Maâ?Tarif sendiri, sehingga berbagai ide dan inovasi coba ditawarkan dalam
rangka penyelesaian berbagai problem yang ada. Menurut Wary Zen, LP
NU-Maâ?Tarif Jawa Timur pernah menyelenggarakan pelatihan kepala sekolah,
pelatihan guru dan sebagainya, dalam rangka mencapai profesionalitas. Pelatihan
guru juga bermacam-macam, ada yang bentuknya pelatihan guru Aswaja, pelatihan
guru bidang studi, pelatihan guru bahasa Arab, dan lain sebagainya. Ada yang
bentuknya seritifikasi guru, sebab banyak guru di lingkungan NU-Maâ?Tarif yang
belum punya ijazah guru. Pernah NU-Maâ?Tarif Jawa Timur bekerjasama dengan
UNESA untuk melakukan pelatihan sertifikasi guru untuk guru-guru Maâ?Tarif, dan
ditemukan di Gresik saja, ada sekitar 9 angkatan (per angkatan 50 guru) yang
tidak punya ijazah keguruan. Jadi di Gresik waktu itu ada 450 guru yang tidak
pernah sekolah di bidang keguruan.
Hal itu
menunjukkan SDM LP NU-Maâ?Tarif di bidang keguruan juga bermasalah, yakni tidak
profesional dalam mengajar. Padahal seorang pengajar itu harus profesional.
Apalagi sekarang ada undang-undang guru, yang menekankan bahwa seorang guru
harus profesional; sehingga amat perlu NU-Maâ?Tarif melakukan
pelatihan-pelatihan model sertifikasi guru dalam rangka menunjang
keprofesionalan guru di lingkungan NU-Maâ?Tarif khususnya. Materi pelatihan
yang dapat diberikan, misalnya: landasan pendidikan, administrasi pendidikan,
supervisi pendidikan, media pembelajaran, metode pembelajaran. Ini perlu untuk
mengatasi guru-guru yang tidak punya gelar SPD, SPG, dan sejenisnya.
Penutup
Melihat
pemaparan di atas, dapat ditegaskan di sini, bahwa pendidikan NU merupakan
sejarah perjalanan panjang yang tidak akan pernah tuntas sampai sekarang bahkan
masa yang akan datang. Dalam artian, keberadaannya tetap harus dipertahankan
dengan upaya penyelesaian berbagai masalah yang melingkupi dan berbagai usaha
untuk meningkatkan kualitas dan kuantitasnya. Salah satu hal yang mungkin perlu
ditekankan untuk dilakukan oleh NU adalah upaya peningkatan kualitas SDM
(Sumber Daya Manusia) kader-kadernya dengan cara memberikan
pelatihan-pelatihan, merekomendasi sekolah, dan sejenisnya melalui berbagai
sarana dan prasarana yang dimilikinya. Setelah itu memanfaatkannya untuk
pengembangan lembaga terutama pendidikan NU ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Azis DY,
Aceng Abdul, 2003, â?oKiprah Nahdlatul Ulama dalam Bidang Pendidikanâ?, dalam
LP. Maâ?Tarif NU Pusat, NU: dari Ulama untuk Indonesia (Jakarta, 20 Desember)
Anggaran
Dasar NU Pasal 4 & 6.
Anggaran
Dasar NU Pasal 12 Ayat 3
Anggaran
Rumah Tangga Pasal 13 Ayat 4
Alfiyah,
Hanik Yuni, 2007, "Transformasi Sosial NU Berbasis Aswaja", Academia,
Vol. 2, Nomor: 2, September (Paiton Probolinggo: Lemlit Nurul Jadid).
Bruinessen,
Martin van, 1994, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru,
terj. Farid Wajidi (Yagyakarta: LKiS)
Chuseno,
Imam, 2003, Gerakan Dakwah dan Pendidikan Jamâ?Tiyah NU di Pulau Jawa (Periode
Muktamar NU ke 27 Situbondo 1984 - Muktamar 28 Krapyak Yogyakarta 1990,
Disertasi (Yogyakarta: UIN SuKa).
Haris, Abd.,
2006, Filsafat Pendidikan NU: Studi atas Konsep Pendidikan Ma'arif Jawa Timur
(Surabaya: Lemlit IAIN Sunan Ampel)
______,
2006, "Pendidikan NU-Ma'arif dalam Tinjauan Filosofis (Studi di Jawa
Timur)", Nizamia, Volume 9, Nomor 2, Juli (Surabaya: Fakultas Tarbiyah
IAIN Sunan Ampel).
Mastuhu,
1999, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu)
Muzadi,
Abdul Muchith, 2006, Mengenal Nahdlatul Ulama, cet. IV (Jember: Masjid Sunan
Kalijaga)
Naskah
Khittah NU butir 6.
Peraturan
Dasar Lembaga Pendidikan Maâ?Tarif Pasal 6.
Peraturan
Dasar Lembaga Pendidikan Maâ?Tarif Pasal 2; Pasal 8; Pasal 9.
Ridwan,
Nasikh, 1993, â?oPendidikan di NU Antara Cita dan Faktaâ?, Bangkit,
No. 5 Juli-Agustus
Siddiq, KH.
Achmad, 2005, Khittah Nahdliyyah, cet. III (Surabaya: Khalista-LTNU)
http://mydream-bagas.blogspot.com/2012/06/multikulturalisme-dan-pendidikan.html
0 komentar:
Posting Komentar