Pendidikan
Islam dalam Perspektif Al-Ghazali
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN AL-GHAZALI
(Pemikiran Pendidikan Islam Era Islam Klasik)
Arman B
I.
Pendahuluan
Studi tentang kebudayaan islam yang berkaitan
dengan pemikiran islam klasik memperoleh perhatian yang cukup besar bagi
kalangan akademisi pada dekade terakhir. Buku-buku yang ditulis pada bidang ini
nampak semakin banyak, baik yang merupakan karya sendiri yang merupakan hasil
dari penelitian mendalam maupun yang merupakan hasil dari terjemahan buku-buku
klasik, baik yang berbahasa arab maupun bahasa inggris.
Banyak karya-karya tokoh ilmuwan muslim yang
dipakai sebagai referensi oleh ilmuwan Eropa sampai hampir tujuh abad.
Salah satu pemikiran era islam klasik yang banyak dikaji oleh para peneliti
adalah pemikiran Imam al-Ghazali. Namun, kebanyakan studi tentang al-Ghazali
lebih menekankan pada sosok beliau sebagai seorang teolog, filosof,
sufi, dan faqih, sehingga beliau lebih sering dikenal sebagai
ahli dalam bidang kelimuan tersebut. Padahal, pandangan al-Ghazali dalam bidang pendidikan islam yang tertuang
dari karya-karyanya seperti, Ih}ya>’ ’Ulu>muddi>n, Ayyuha al-Walad
dan sebagainya, memberikan
pengaruh yang cukup signifikan bagi tokoh-tokoh pendidikan setelahnya.
Pemikiran al-Ghazali dalam bidang pendidikan
islam ini menjadi warisan khazanah intelektual yang tak kalah penting
dengan bidang lain yang digelutinya. Lalu, apa saja pemikiran Sang h}ujjah al-Isla>m (bukti kebenaran islam) dalam pendidikan
islam. Makalah ini mencoba mengungkap pandangan-pandangan, pemikiran dan konsep
pendidikan islam menurut Zayn al-Di>n, Imam al-Ghazali.
II. Sejarah Singkat Kehidupan Al-Ghazali
Sejarah merupakan bagian penting dari
perjalanan sebuah umat, bangsa, negara, maupun individu. Keberadaan sejarah
merupakan bagian dari proses kehidupan itu sendiri. Melalui sejarah, manusia
dapat mengambil banyak pelajaran dari proses kehidupan suatu umat, bangsa atau
individu.[1][1] Sebelum menelusuri lebih jauh tentang gagasan
dan pemikiran al-Ghazali dalam dunia pendidikan, perlu mengenal sejarah hidup
beliau.
A. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Dalam buku yang ditulis sendiri oleh
al-Ghazali,[2][2] dijelaskan bahwa nama lengkapnya adalah, Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thu>si
An-Naysa>buri>. Ia lahir dikota Thus, yang merupakan kota kedua setelah
Naysabur yang terletak di wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M.
ayahnya adalah seorang sufi yang sangat wara’[3][3] yang hanya makan dari usaha
tangannya sendiri. Kerjanya adalah memintal wool dan menjualnya sendiri. Ia
meninggal sewaktu anaknya itu masih kecil dan sebelum meninggal ia menitipkan
anaknya pada seorang sufi lain untuk mendapat bimbingan dan pendidikan.[4][4]
Al-Ghazali mempunyai seorang
saudara yang bernama Ahmad. ketika ayahnya meninggal, sahabatnya segera
melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak ini dididik dan disekolahkan,
dan setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar
meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.
Sejak kecil al-Ghazali
dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan dan penggandrung
mencari kebenaran, maka tidaklah mengherankan jika sejak masa kanak-kanak ia
telah belajar dengan sejumlah guru dari kota kelahirannya. Masa kecilnya
dimulai dengan belajar Fiqh[5][5] pada ulama terkenal yang
bernama Ahmad Ibn Muhammad Ar-Razakani di Thus kemudian belajar kepada Abu
Nashr al-Ismaili di Jurjan dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi.[6][6]
Sebagai gambaran kecintaannya
akan ilmu pengetahuan, dikisahkan pada suatu hari dalam perjalanan pulangnya ke
Thus, beliau dan teman-temannya dihadang oleh sekawanan pembegal yang kemudian
merampas harta dan kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas
al-Ghazali yang berisi buku-buku yang ia senangi, kemudian ia meminta dengan
penuh iba pada kawanan pembegal itu agar sudi kiranya mengembalikan tasnya,
karena beliau ingin mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkandung
didalamnya. Kawanan itupun merasa iba dan kasihan padanya sehingga
mengembalikan tas itu. Dan setelah peristiwa itu, ia menjadi semakin rajin
mempelajari dan memahami kandungan kitab-kitabnya dan berusaha mengamalkannya.
Bahkan beliau selalu menyimpan kitab-kitab itu disuatu tempat khusus yang aman.[7][7]
Setelah belajar di Thus, ia
lalu melanjutkan belajar di Naysabur, tempat dimana ia menjadi murid Al-Juwaini
Imam Al-Haramain hingga gurunya itu wafat.[8][8] Dari
beliau, dia belajar Ilmu Kalam, Ushul Fiqh dan Ilmu Pengetahuan Agama lainnya.[9][9] Pada
periode ini, ia berusaha dengan sungguh-sungguh sehingga dapat menamatkan
pelajarannya dengan singkat. Gurunya membanggakan dan mempercayakan
kedudukannya padanya. Ia membimbing murid-murid mewakili gurunya sambil menulis
buku.[10][10]
Dengan kecerdasan dan kemauan belajarnya yang luar biasa serta kemampuannya
dalam mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih,
Al-Juwaini kemudian memberikan predikat bahrun mughriq (laut yang dalam
nan menenggelamkan).[11][11]
Dari Naysabur, pada tahun 478
H/1085 M, al-Ghazali kemudian menuju Mu’askar[12][12]
untuk bertemu dengan Nidzam al-Mulk, yang merupakan perdana menteri Sultan Bani
Saljuk.[13][13]
Dengan semakin mencuatnya nama al-Ghazali, Nidzam al-Mulk kemudian
memerintahkannya pergi ke Bagdad untuk mengajar di Al-Madrasah An-Nidzamiyyah,
dimana semua orang mengagumi pandangan-pandangannya yang pada akhirnya ia
menjadi Imam bagi penduduk Irak setelah sebelumnya menjadi Imam di Khurasan.
Namun, ditengah ketenarannya sebagai seorang ulama, disisi lain pada saat ini
ia mengalami fase skeptisisme[14][14] yang
membuat keadaannya terbalik. Ia kemudian meninggalkan Bagdad dengan segala
kedudukan dan fasilitas kemewahan yang diberikan padanya untuk menyibukkan
dirinya dengan ketakwaan.[15][15]
Perjalanannya kemudian
berlanjut menuju Damaskus dimana ia banyak menghabiskan waktunya untuk berkhalwah,
beribadah dan beri’tikaf. Dari sini ia kemudian menuju Baitul Maqdis untuk
menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ia kemudian kembali ke Naysabur atas
desakan Fakhrul Mulk, anak Nidzam Al-Mulk untuk kembali mengajar.[16][16]
Hanya saja, ia menjadi guru besar dalam bidang studi lain, tidak seperti dahulu
lagi. Selama periode mengajarnya yang kedua ini, ia juga menjadi Imam ahli
agama dan tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama.[17][17]
Setelah mengajar diberbagai
tempat seperti Bagdad, Syam dan Naysaburi, Pada tahun 500 H/1107 M, al-Ghazali
kemudian kembali kekampung halamannya, banyak bertafakkur, menanamkan ketakutan
dalam kalbu sambil mengisi waktunya dengan mengajar pada madrasah yang ia
dirikan disebelah rumahnya untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat bagi
para sufi. Dan pada hari senin, 14 jumadal akhirah 505 H/18 desember 1111 M,
Imam al-Ghazali berpulang ke rahmatullah ditanah kelahirannya, Thus dalam usia
55 tahun.[18][18]
B.
Karya-karya
Al-Ghazali
Imam al-Ghazali adalah seorang ulama dan
pemikir besar yang sangat produktif dalam menulis. Jumlah kitab dan
risalah-risalah yang ditulisnya sampai kini belum disepakati secara definitif
oleh para penulis sejarahnya. Hingga ada yang mengatakan bahwa ia memiliki 999
buah tulisan, ini memang sulit dipercaya, tapi siapapun yang mengenal dirinya
dan keluasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, kemungkinan ia akan percaya.
Muhammad bin Al-Hasan din ‘Abdullah Al-Husaini
Al-Wasithi dalam Ath-Thabaqa>t Al-‘A<liyyah fi> Mana>qib Al-Sya>fi’iyyah menyebutkan bahwa karya
al-Ghazali berjumlah 98 karangan. As-Subki dalam Thabaqa>t
Al-Sya>fi’iyyah menyebutkan sebanyak 58 karangan. Tha>sy Kubra>
Za>deh dalam Mifta>h Al-Sa’a>dah wa Mishba>h Al-Siya>dah menyebutkan
bahwa karyanya mencapai 80 buah.[19][19]
Kitab-kitab yang ditulis oleh
Imam al-Ghazali meliputi berbagai macam bidang keilmuan, seperti al-Qur’an,
akidah, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqh, tasawwuf, mantiq, falsafah, kebatinan dan
lain sebagainya. Abdurrahman Badawi dalam bukunya Mualafa>t
Al-Ghaza>li (Kairo, 1961), membagi kitab yang berkaitan dengan
al-Ghazali kedalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat
dipastikan merupakan karangan al-Ghazali sendiri sebanyak 72 kitab. Kedua, kelompok
kitab yang diragukan sebagai karyanya sebanyak 22 kitab. Ketiga, kelompok
kitab yang dipastikan bukan karyanya terdiri atas 31 kitab.[20][20]
Dari sekian banyak kitab yang
menjadi karya Imam al-Ghazali, beberapa diantaranya yang banyak dibaca dan
dijadikan rujukan, bahkan diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa asing adalah:
1. Ih}ya>’ ‘Ulu>muddi>n (Menghidupkan
ilmu-ilmu agama)
2. Taha>fut al-Fala>sifah (Keruntuhan
para filosof)
3. Al-Munqidz min al-Dhola>l (Penyelamat
dari kesesatan)
4. Ayyuha> al-Walad (Wahai anak)
5. Bida>yah al-Hida>yah
6. Fayshal al-Tafriqah bayna Al-Isla>m al-Zandaqah
7. Al-Waji>z
Inilah
sejumlah kecil dari sekian banyak karya besar seorang ulama besar yang bergelar
Hujjah al-Isla>m yang tidak mungkin disebut secara keseluruhan. Maka
tidaklah mengherankan, karena keluasan dan keragaman ilmu pengetahuan yang
dimilikinya itulah, ia kemudian diberi gelar sebagai Zayn al-Di>n (Hiasan
Agama).
III. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam
Untuk mengetahui pemikiran al-Ghazali dalam
bidang pendidikan, lebih dahulu kita harus mengetahui dan memahami pandangan
al-Ghazali yang berkenaan ilmu pengetahuan dengan berbagai aspeknya, antara
lain tujuan pendidikan, kurikulum, metode, pendidik dan murid.
Pendidikan, yang kata itu dilekatkan pada kata
islam didefinisikan secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda sesuai
dengan pendapatnya masing-masing. Tetapi semua pendapat itu bertemu dalam satu
pandangan, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan
generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup
secara efektif dan efisien.[21][21] Selain mewariskan nilai-nilai budaya dari
generasi ke generasi untuk memelihara identitas masyarakat, pendidikan juga
bertugas mengembangkan potensi manusia untuk dirinya sendiri dan masyarakatnya.[22][22]
Dalam kitab Ih}ya>’ ‘Ulu>muddi>n, al-Ghazali memulai pandangannya dengan
nada provokatif tentang keutamaan bagi mereka yang memiliki ilmu pengetahuan
dengan mengutip al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 11, yang artinya:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat”. (QS. Al-Muja>dilah:11)[23][23]
Provokasi ini kemudian dilanjutkannya
dengan hadis Nabi yang bernada majaz metaforik yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas
tentang keutamaan ilmuwan atas orang awam, pernyataan tersebut adalah:
Li al-‘ulama>’ darajah fauqo
al-mu’mini>na bisab’i mi’ah darajah ma> bayna al-darajataini masi>rah
khamsah mi’ah ‘a>m.
Artinya:
“Para
orang-orang yang berilmu memiliki derajat diatas orang-orang mukmin sebanyak
tujuh ratus derajat, jarak di antara dua derajat tersebut adalah perjalanan
lima ratus tahun”.
Konsep pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan
lebih cenderung bersifat empirisme, hal ini disebabkan karena ia sangat
menekankan pada pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya, pendidikan
seorang anak sangat tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Lebih lanjut,
dapat dikatakan bahwa dalam peranannya, pendidikan sangat menentukan kehidupan
suatu bangsa dan pemikirannya.
Dengan melihat dan memahami beberapa
karyanya yang berkaitan dengan pendidikan, dapat dikatakan bahwa al-Ghazali
adalah penganut asas kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan
kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia
islam maka hukumnya wajib, tidak terkecuali bagi siapapun. Dapat dikatakan
pula, bahwa ia adalah penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas
putih), dimana pendidikanlah yang bisa mewarnai seorang anak yang bagai kertas
putih tersebut dengan hal-hal yang benar. Hal tersebut tercermin dalam salah
satu kitabnya, Ih}ya>’ ’Ulu>muddi>n yang mengatakan
bahwa seorang anak ketika lahir masih dalam keadaan fitrah (suci).
A.
Tujuan
Pendidikan
Menurut Nizar,[24][24] al-Ghazali menjadikan transinternalisasi ilmu
dan proses pendidikan merupakan sarana
utama untuk menyiarkan ajaran islam, memelihara jiwa, dan taqarrub ila> Alla>h. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pendidikan yang
baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan
kebahagiaan dunia akhirat.
Intinya, pendidikan menurut al-Ghazali
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana tujuan penciptaan
manusia yang termaktub dalam QS. Al-Dzariyat: 56.[25][25] Tujuan pendidikan ini dapat diklasifikasikan
dalam 3 kategori, yaitu: (1) Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata
untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT; (2)
Tujuan utama pendidikan islam adalah pembentukan akhla>q al-kari>mah; (3) Tujuan pendidikan islam adalah
mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[26][26] Perumusan ketiga tujuan pendidikan tersebut
dapat menjadikan program pendidikan yang dijalankan bersinergi dengan tujuan
penciptaan manusia dimuka bumi ini, yaitu untuk beribadah pada Allah sehingga
pada gilirannya mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri dengan
Allah SWT.
Menurut Nata,[27][27] pendidikan islam itu secara umum mempunyai
corak spesifik yaitu adanya cap agama dan etika yang terlihat nyata pada
sasaran-sasaran dan sarananya, tetapi tanpa mengabaikan masalah keduniawian.
Dan al-Ghazali pada prinsipnya sejalan dengan trend-trend keagamaan semacam
ini, namun disatu sisi ia tetap memberikan ruang yang cukup dalam sistem
pendidikan bagi perkembangan duniawi, dengan catatan bahwa masalah-masalah
dunia hanya dimaksudkan sebagai jalan untuk menuju kebahagiaan hidup di alam
akhirat yang lebih utama dan kekal.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan
pendidikan dalam pandangan al-Ghazali adalah memanfaatkan pengetahuan yang
ditujukan untuk mendapatkan kemanfaatan dari pengetahuan itu sendiri yang
dengannya dapat menjaga keseimbangan alam semesta ini dengan melestarikan
kehidupan manusia dan alam sekitarnya, juga sekaligus sebagai sebuah aplikasi
dari tugas penciptaan manusia di muka bumi. Pemanfaatan pengetahuan itu
semata-mata adalah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah SWT, Tuhan
semesta alam.
B.
Kurikulum
Kurikulum, dalam pengertian sederhana berarti mata pelajaran
yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar
mampu beradaptasi dengan lingkungannya.[28][28]
Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat diketahui berdasarkan pandangannya
dalam membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori besar, yaitu: (1) Ilmu yang tercela
yang tidak pantas dipelajari (al-mazmum), seperti sihir, nujum, ramalan,
dan lain sebagainya. (2) Ilmu yang terpuji yang pantas untuk
dipelajari (al-mahmud) yang meliputi ilmu yang fardlu ‘ain
untuk dipelajari dan ilmu yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari.
(3) Ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya
secara mendalam, seperti ilmu logika, filsafat, ilahiyyat dan lain-lain.
Menurut Nata, [29][29]
yang dimaksud dari kategorisasi ketiga ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama,
ilmu-ilmu
tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah ilmu yang
tidak ada manfaatnya baik dunia maupun akhirat dan terkadang hanya membawa
mudharat bagi orang yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir
misalnya dapat memisahkan persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan
dendam, permusuhan dan kejahatan. Sementara ilmu nujum menurut al-Ghazali dapat
dibagi menjadi dua, yaitu ilmu nujum berdasarkan perhitungan (hisab),
dan ilmu nujum berdasarkan istidlaly[30][30]. Tapi beliau masih memberi
toleransi dengan mengatakan seperlunya saja demi kebaikan, seperti ilmu nujum
untuk mengetahui letak kiblat.
Kedua,
ilmu-ilmu
terpuji. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini ialah ilmu-ilmu yang erat
kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini
menjadi dua bagian, yaitu: yang fardlu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan
segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat pokok, hingga ilmu syari’at
yang dengannya ia akan paham apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus
dilakukan. Sedangkan yang fardlu kifayah adalah semua ilmu yang tidak
mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran, ilmu
hitung dan lain-lain. Menurutnya, jika tidak ada yang mempelajari ilmu itu maka
berdosalah seluruhnya, tetapi jika telah ada seseorang yang menguasainya dan
dapat mempraktekkannya maka tuntutan wajibnyapun telah lepas dari yang lain.
Ketiga,
ilmu-ilmu
yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya
secara mendalam, karena dengan mempelajarinya dapat menyebabkan terjadinya
kesemrawutan dan kekacauan antara keyakinan dan keraguan yang dapat membawa
pada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap
orang, karena menurut tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu itu
dengan baik. Ia berpendapat bahwa orang yang mempelajari ilmu tersebut bagai
anak kecil yang masih menyusu, dan akan sakit apabila diberikan makanan yang
bermacam-macam yang belum dapat dicerna oleh perutnya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
pada prinsipnya, al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan
dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan
kemaslahatan manusia pada umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya
seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum
mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan
lain harus mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya, karena ilmu agama
meliputi keselamatan di akhirat, sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan
di dunia. Ia juga lebih menekankan pada segi pemanfaatan ilmu pengetahuan
dengan berdasarkan pada tujuan iman dan taqarrub pada Allah SWT. Hal ini
menjadi wajar dengan melihat latar belakang kehidupan beliau sebagai seorang
sufi.
C.
Metode
Menurut al-Ghazali
metode perolehan ilmu dapat dibagi berdasarkan jenis ilmu itu sendiri, yaitu ilmu
kasbi dan ilmu ladunni. (1) Ilmu kasbi dapat diperoleh
melalui metode atau cara berfikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara
konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan
penemuan, yang mana memperolehnya dapat menggunakan pendekatan ta’li>m
insa>ni. (2) Ilmu ladunni dapat diperoleh orang-orang tertentu
dengan tidak melalui proses perolehan ilmu pada umumnya tetapi melalui proses
pencerahan oleh hadirnya cahaya ilahi dalam qalbu, yang mana memperolehnya
adalah menggunakan pendekatan ta’li>m rabba>ni.
Selain itu, al-Ghazali juga memakai
pendekatan behavioristik dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini terlihat
dari pernyataannya, jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang guru
mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan,
bentuk apresiasi gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik
dalam Eropa modern yang memberikan reward dan punishment-nya
dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawa>b
(pahala) dan uqu>bah (dosa) sebagai reward and punishment-nya.
Disamping itu, ia juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang
mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia
secara holistik dan menghargai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali
tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan
penuh kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri.[31][31]
Dengan ungkapan seperti ini tentu ia menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik
oleh guru. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja
yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid.
Dengan demikian, faktor keteladanan merupakan metode pengajaran yang utama dan
sangat penting dalam pandangannya.[32][32]
Menurut al-Ghazali,
pendidikan tidak semata-mata sebagai suatu proses yang dengannya guru
menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah proses itu
masing-masing guru dan murid berjalan di jalan mereka yang berlainan. Lebih
dari itu, ia adalah interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara
guru dan murid dalam tataran sama, yang pertama mendapatkan jasa karena
memberikan pendidikan dan yang terakhir dapat mengolah dirinya dengan tambahan
pengetahuan yang didapatkannya.
D. Pendidik
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidik merupakan
orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan
hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia juga memberikan
perhatian yang sangat besar pada tugas dan kedudukan seorang pendidik. Hal ini
tercermin dalam tulisannya:
“Sebaik-baik
ikhwalnya adalah yang dikatakan berupa ilmu pengetahuan. Hal itulah yang
dianggap keagungan dalam kerajaan langit. Tidak selayaknya ia menjadi seperti
jarum yang memberi pakaian kepada orang lain sementara dirinya telanjang, atau
seperti sumbu lampu yang menerangi yang lain sementara dirinya terbakar. Maka,
barang siapa yang memikul beban pengajaran, maka sesungguhnya ia telah memikul
perkara yang besar, sehingga haruslah ia menjaga etika dan tugasnya.”[33][33]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidik
yang dapat diserahi tugas mengajar adalah seorang pendidik yang selain memiliki
kompetensi dalam bidang yang diajarkan yang tercermin dalam kesempurnaan
akalnya, juga haruslah yang berakhlak baik dan memiliki fisik yang kuat.
Disamping syarat-syarat umum ini, ia juga memberikan kriteria-kriteria khusus,
yaitu:
1.
Memperlakukan
murid dengan penuh kasih saying.
2.
Meneladani
Rasulullah dalam mengajar dengan tidak meminta upah.
3.
Memberikan
peringatan tentang hal-hal baik demi mendekatkan diri pada Allah SWT.
4.
Memperingati
murid dari akhlak tercela dengan cara-cara yang simpatik, halus tanpa cacian,
makian dan kekerasan. Tidak mengekspose kesalahan murid didepan umum.
5.
Menjadi teladan
bagi muridnya dengan menghargai ilmu-ilmu dan keahlian lain yang bukan keahlian
dan spesialisasinya.
6.
Menghargai
perbedaan potensi yang dimiliki oleh muridnya dan memperlakukannya sesuai
dengan tingkat perbedaan yang dimilikinya itu.
7.
Memahami
perbedaan bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai dengan perbedaan usianya.
8.
Berpegang teguh
pada prinsip yang diucapkannya dan berupaya merealisasikannya sedemikian rupa.[34][34]
E. Murid
Dalam kaitannya dengan peserta didik atau
dengan kata lain yaitu murid, lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka
adalah makhluk yang telah dibekali dengan potensi atau fitrah untuk
beriman kepada Allah SWT. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah SWT sesuai
dengan kejadian manusia yang tabi’at dasarnya adalah cenderung kepada agama
tauhid (islam).[35][35] Untuk itu, seorang pendidik betugas
mengarahkan fitrah tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan
tujuan penciptaannya sebagai manusia.
Dalam pandangan al-Ghazali, murid memiliki
etika dan tugas yang sangat banyak, yang dapat disusun dalam tujuh bagian,
yaitu:
1.
Mendahulukan
kesucian jiwa daripada kejelekan akhlak.
2.
Mengurangi
hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya
terikat pada ilmu.
3.
Tidak bersikap
sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan tidak terpuji kepada guru, bahkan
ia harus menyerahkan urusannya kepadanya.
4.
Menjaga diri
dari mendengarkan perselisihan diantara manusia.
5.
Tidak mengambil
ilmu terpuji selain mendalaminya hingga ia dapat mengetahui hakikatnya.
6.
Mencurahkan
perhatian terhadap ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat.
7.
Hendaklah
tujuan murid itu ialah untuk mnghiasi batinnya dengan sesuatu yang akan
mengantarkannya kepada Allah SWT. [36][36]
IV. Kesimpulan
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thu>si An-Naysa>buri> atau yang lebih
dikenal dengan al-Ghazali adalah seorang ulama besar yang lahir dikota Thus,
Khurasan pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya adalah seorang sufi yang bekerja
sebagai pemintal wool, ia meninggal sewaktu al-Ghazali masih kecil. Al-Ghazali
mulai belajar di kota kelahirannya Thus,
lalu kemudian melanjutkannya di Naysabur pada ulama terkenal, Al-Juwaini
Imam Al-Haramain. Kehidupannya kemudian banyak diisi dengan kegiatan mengajar
diberbagai kota mulai dari Baghdad, Damaskus, Syam hingga kembali kekampung
halamannya di Thus, tempat dimana ia wafat pada tahun 505 H/1111 M.
Imam al-Ghazali adalah seorang pemikir besar
yang sangat produktif dalam menulis. Jumlah kitab dan risalah-risalah yang
ditulisnya sampai kini belum disepakati secara definitif oleh para penulis
sejarahnya. banyak kitabnya yang dibaca dan dijadikan
rujukan, bahkan diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa asing, seperti Ih}ya>’
‘Ulu>muddi>n, Taha>fut al-Fala>sifah, Ayyuha> al-Walad dan lain sebagainya.
Menurut
al-Ghazali, pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT, begitupun pemanfaatannya mestilah bertujuan untuk ta’abbud kepada
Allah SWT. Beliau membagi ilmu pengetahuan menjadi
tiga kategori, yaitu ilmu
yang tercela, ilmu yang terpuji dan ilmu terpuji dalam
kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam.
Lebih lanjut, al-Ghazali memakai pendekatan behavioristik dalam metode
pendidikannya dan mengelaborasinya dengan pendekatan humanistik. Ia juga memberikan perhatian yang sangat besar
pada tugas seorang pendidik dan murid. Menurutnya, pendidik dan murid haruslah
menjaga etika dan tugas-tugas mulianya agar dapat mengantarkannya pada
kedekatakan Allah SWT sesuai dengan tujuan penciptaannya dimuka bumi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Antara Al-Ghazali dan
Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Al-Ghazali. Mutiara Ih}ya>’ ’Ulu>muddi>n: Ringkasan Yang Ditulis
Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam. Cet. XV.
Diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan. Bandung: Mizan, 2003.
Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual
Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1989.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV. Naladana, 2004.
Nata, Abuddin. Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Nizar, Samsul. Filsafat
Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta:
Ciputat Pers, 2002.
Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an:
Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al-Qur’an. Cet. V. Jakarta:
Penamadani, 2008.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta:
Prenada Media Kencana, 2005.
Syukur, Fatah
NC. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
Tim Redaksi
Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa,
2008.
http://salumoni.blogspot.com/2012/05/pendidikan-islam-dalam-perspektif-al.html
[2][2] Al-Ghazali, Mutiara
Ih}ya>’ ‘Ulu>muddi>n: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang
Hujjatul Islam (Bandung: Mizan, 2003), 9.
[3][3]
Patuh dan taat kepada Allah,
lihat Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), 1616.
[6][6] Abuddin
Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan
Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 82.
[8][8] M. Amin
Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam (Bandung:
Mizan, 2002), 28.
[11][11] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), 87.
[12][12] Muaskar
adalah suatu lapangan besar luas disebelah Kota Naysabur dimana didirikan
barak-barak militer oleh Nidzam al-Mulk. Disini al-Ghazali diterima dengan
penuh kehormatan karena kemampuannya dalam mendebat para ulama setempat dalam
Munazharah. Lihat Daudy, Kuliah Filsafat,
97.
[21][21] Azyumardi
Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1998), 3.
[22][22] Umar
Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum Dalam
Al-Qur’an (Jakarta: Penamadani, 2008), 152.
[30][30] Yaitu
semacam astrology dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. Ilmu ini
menurut al-Ghazali tercela menurut syara’, karena dapat menyebabkan
manusia menjadi ragu pada Allah, lalu menjadi kafir.